Mahasiswa FH USU Kunjungi MK

Cikal bakal pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia bermula pada 1945. Kala itu terjadi perdebatan antara Mohammad Yamin dengan Soepomo mengenai pentingnya sebuah lembaga yang disebut Balai Agung, yang melakukan tugas-tugas yang menilai sebuah produk undang-undang untuk diuji berdasarkan UUD.
“Perdebatan tersebut terjadi saat sidang BPUPKI, seiring munculnya gagasan untuk menilai sebuah produk UU untuk diuji,” jelas Guntur Hamzah, Kepala Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (P4TIK) Mahkamah Konstitusi (MK) kepada para mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Sumatera Utara, Selasa (12/11) di Gedung MK.
Namun, kata Guntur, gagasan itu belum dapat dilaksanakan karena tidak ada kesepakatan antara founding fathers bangsa Indonesia. Bertahun-tahun kemudian, pasca reformasi politik di Indonesia tahun 1998, dilakukan amandemen UUD 1945 pada 2001 dan 2002. Ketika itulah muncul kembali gagasan untuk membentuk Mahkamah Konstitusi di Indonesia.
Alhasil dibentuklah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada 13 Agustus 2003 yang memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Seperti tercantum pada Pasal 24C UUD 1945 Ayat (1) yang menyebutkan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Sedangkan Pasal 24C UUD 1945 Ayat (2) menyebutkan, “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.”
Guntur menjelaskan, pengertian MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, memiliki arti bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga satu-satunya di Indonesia yang menguji UU terhadap UUD. Tugas ini biasa disebut dengan judicial review.
Berikutnya, kewenangan MK memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Misalnya, pernah terjadi sengketa antara DPR, BPK dengan Pemerintah. Kemudian juga, MK berwenang memutus pembubaran partai politik.
“Meskipun kewenangan MK memutus pembubaran parpol, sampai hari ini belum pernah terjadi,” ucap Guntur yang didampingi moderator Mirza Nasution selaku dosen FH USU.
Selain itu, lanjut Guntur, MK berwenang memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, termasuk di dalamnya pemilihan umum kepala daerah atau pemilukada. Terkait pemilukada inilah yang banyak sekali kasus sengketa pemilukada disidangkan di MK.
“Bahkan saking banyaknya kasus sengketa pemilukada disidangkan di MK, ada hakim yang tergelincir hingga mengganggu integritasnya. Padahal semestinya seorang Hakim Konstitusi adalah seorang negarawan yang memiliki integritas dan perilaku tak tercela,” urai Guntur.
Selanjutnya, yang menjadi kewajiban MK adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dana atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan maupun tindak pidana lainnya. (Nano Tresna Arfana/mh)
Source: Laman Mahkamah Konstitusi