Kapusdik Paparkan Kewenangan dan Kewajiban MK di PPATK

Kerugian hak konstitusional pemohon yang berperkara di Mahkamah Konstitusi (MK) harus memenuhi lima alasan yaitu adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; hak dan atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.

 

“Alasan berikutnya, kerugian dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi,” ujar Kepala Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi Mahkamah Konstitusi, M. Guntur Hamzah dalam acara bertema “MK dan Kewenangan Pengujian UU Terhadap UUD 1945” di Gedung Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Rabu (13/2) siang.

 

Selain itu, lanjut Guntur Hamzah, pemohon harus memiliki alasan adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan. Alasan terakhir, adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

 

Dalam pertemuan itu, Guntur juga menjelaskan wewenang MK. Bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

 

“Di samping itu MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945,” papar Guntur yang didampingi Agus Santoso selaku Wakil Kepala PPATK.

 

Lebih lanjut Guntur menerangkan permohonan pengujian UU di MK meliputi pengujian formil dan/atau pengujian materiil. Pengujian formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.

 

“Pengujian materiil adalah pengujian UU yang berkaitan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945,” imbuh Guntur.

 

Terkait pengujian UU terhadap UUD 1945, Guntur menyampaikan bahwa sebelumnya disebutkan “UU yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945” sesuai Pasal 50 PMK.

 

“Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, UU yang dapat diuji adalah UU yang lahir pada tahun 2002 ke atas,” kata Guntur.

Namun pasal ini dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 066/PUU-II/2004 mengenai Pengujian UU No. 24/2003 tentang MK dan UU No. 1/1987 tentang Kamar Dagang & Industri terhadap UUD 1945.

 

“Sejalan dengan meningkatnya animo masyarakat untuk melakukan pengujian UU. Dengan demikian, kini semua UU terbuka kemungkinan untuk diuji,” tandas Guntur yang pada saat itu menjelaskan prosedur pengajuan permohonan, prinsip-prinsip Hukum Acara MK, proses persidangan MK dan lainnya. (Nano Tresna Arfana/mh

Source: Laman Mahkamah Konstitusi