MK: Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Memerhatikan ICP Tidak Bertentangan dengan UUD 1945
Pengujian terhadap ketentuan Undang-Undang (UU) No. 4/2012 tentang Perubahan Atas UU No. 22/2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (UU APBNP TA 2012), akhirnya MK memutus menolak permohonan (Perkara No. 43, 45, dan 46/PUU-X/2012), sedangkan permohonan perkara lainnya tidak dapat diterima (Perkara No. 42 dan 58/PUU-X/2012).
Dalam pertimbangan putusannya, Kamis (13/12), Mahkamah menyatakan menolak permohonan untuk Perkara Nomor 43, 45, dan 46, mengenai pengujian UU APBNP tersebut. Adapun Pasal 7 ayat (6a) UU APBNP menyatakan, “Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan, kecuali dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, Pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya”. Penjelasan Pasal 7 ayat (6a) dinyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan harga rata-rata minyak mentah Indonesia dalam kurun waktu berjalan adalah realisasi harga rata-rata minyak mentah Indonesia selama 6 (enam) bulan terakhir.”
Menurut Mahkamah dalam pendapatnya, Pasal 7 ayat (6a) dan Penjelasannya tidak berarti Pemerintah menaikkan harga BBM tanpa persetujuan DPR. Karena pemberian wewenang kepada Pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM dalam pasal tersebut adalah berdasarkan hasil pembahasan antara Pemerintah dan DPR. Waktu enam bulan justru memberikan kepastian hukum, karena Pemerintah harus memperhatikan harga rata-rata minyak mentah Indonesia dalam kurun waktu enam bulan sejak UU APBNP tersebut diundangkan (31 Maret 2012) baru dapat menyesuaikan harga BBM. “Jika dalam kurun waktu enam bulan tersebut harga rata-rata minyak mentah Indonesia tidak mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012 maka harga jual eceran BBM bersubsidi tidak disesuaikan. Terlebih lagi faktanya harga eceran BBM bersubsidi juga tidak mengalami kenaikan,” jelas Mahkamah.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah Pasal 7 ayat (6a) tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sedangkan mengenai dalil mengenai bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 karena menyandarkan pada mekanisme pasar, Mahkamah menyatakan pertimbangan diatas dinyatakan berlaku untuk dalil ini.
Sementara itu terhadap Perkara No. 45, Mahkamah menyatakan bahwa walaupun secara materiil antara Perkara No. 43 dengan 45 didasarkan pada batu uji berbeda, Mahkamah menilai substansi yang dimohonkan pengujian adalah sama. “Baik secara formil pembentukannya maupun secara materiil, tidak bertentangan dengan UUD 1945,” tegasnya.
Hal serupa juga disampaikan Perkara No. 46. Menurut Mahkamah, walaupun batu uji permohonan dalam permohonan ini yaitu Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28A UUD 1945, akan tetapi alasan-alasan permohonannya hakikatnya sama dengan alasan permohonan Perkara No. 43 yang telah diputus ditolak. “Oleh karena itu, (permohonan Pemohon) mutatis mutandis,” terang Mahkamah.
Sedangkan dalam pengujian Pasal 7 ayat (6a) APBNP, untuk perkara No. 42 dan 58/PUU-X/2012, Mahkamah menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima. Menurut Mahkamah, permohonan Pemohon telah dipertimbangkan dalam putusan MK No. 43. Sedangkan permohonan terkait batu uji lainnya, menurut Mahkamah, para Pemohon No.42 tidak menguraikan secara jelas alasan-alasan yang menjadi dasar permohonannya. “Sepanjang permohonan para Pemohon terhadap Pasal 28D ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UUD 1945 adalah tidak jelas dan kabur (obscuur libel),” terang hakim konstitusi.
Mengenai Perkara no. 58, kata Mahkamah, pengujian pasal tersebut telah diputus MK, sehingga permohonan perkara ini ne bis in idem. MK menyatakan, “Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon mengenai pengujian Pasal 7 ayat (6a) tidak dapat diterima, dan Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.”
Pengujian UU APBNP ini diajukan oleh Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI), Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk Kebenaran dan Keadilan Negara Kesatuan Republik Indonesia (PEMBELA NKRI), Eddy Wesley Parulian Sibarani, Masyur Maturidi, dan M. Fadhlan Hagabean Nasution (Perkara No. 42) Kemudian, Perkara No. 43 diajukan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBI), dan Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit (FSPTSK). Sementara M. Komarudin, Ketua Umum Federasi Ikatan Buruh Indonesia (FISBI) dan Muhammad Hafidz dengan Perkara No. 45, serta Ahmad Daryoko Presiden Konfederasi Serikat Nasional (KSN), Kgs. Muhammad Irzan Zulpakar, Mukhtar Guntur Kilat dkk untuk Perkara No. 46.
Mengenai perkara Nomor 58 ini dimohonkan beberapa Pemohon, yaitu Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Prakarsa Masyarakat Untuk Negara Kesejahteraan dan Pembangunan Alternatif (PRAKARSA), Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), Trade Union Rights Centre (TURC), Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Dani Setiawan (Ketua Koalisi Anti Utang). (Shohibul Umam/mh)
Source: Laman Mahkamah Konstitusi