Penggunaan Ganja Medis Kembali Diuji Konstitusionalitasnya
JAKARTA, HUMAS MKRI – Pipit Sri Hartanti dan Supardi mengajukan uji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta Protokol yang Mengubahnya (UU 8/1976) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya merupakan orangtua dari Shita Aske Paramitha yang mengidap Cerebral Palsy sejak kecil. Sidang Pemeriksaan Pendahuluan terhadap Perkara Nomor 13/PUU-XXII/2024 ini dilaksanakan pada Senin (12/2/2024) di Ruang Sidang Panel MK. Sidang dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan tersebut dipimpin oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur.
Dalam permohonannya, para Pemohon menguji Pasal 1 ayat (2) UU 8/1976 yang menyatakan, “Protokol yang mengubah Konvensi Tunggal Narkotika 1961 yang salinan-salinan naskahnya dilampirkan pada undang-undang ini” dan materi Paragraf 7 dan Paragraf 8 UU Narkotika. Menurut Pemohon, kedua pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28C Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28H Ayat (1), dan Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945.
Singgih Tomi Gumilang selaku kuasa hukum para Pemohon menyampaikan bahwa para Pemohon telah melakukan upaya untuk kesembuhan anaknya. Dari berbagai pengobatan yang dilakukan, dalam banyak penelitian uji coba minyak dari formulasi cannabis atau ganja dengan kandungan cannabidiol dan THC efektif digunakan kepada anak yang menderita gangguan motorik kompleks. Singkatnya, penggunaan kandungan ganja medis tersebut dapat mengurangi dampak dari dystonia dan kejang-kejang serta memperbaiki fungsi kemampuan motorik dan kualitas hidup.
Akan tetapi, Indonesia menggolongkan ganja dan turunannya sebagai Golongan I atau zat berbahaya dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan penggolongan zat narkotika merupakan hak setiap negara sepanjang dilakukan dengan niat baik untuk pengembangan layanan kesehatan dan kemampuan mengontrol zat dengan memastikan izin edar sesuai dengan peruntukkannya. Negara memiliki otoritas penuh atas perubahan golongan ataupun penetapan golongan tersebut dengan melihat kembali tujuan Konvensi dan UU dalam negaranya, termasuk Indonesia. Penggolongan zat ini seyogianya tidak dilakukan sebagai penundukan atas politik dan geopolitik pada saat Konvensi Tunggal 1961 terbentuk, melainkan harus dilihat ketersediaan dan akses layanan kesehatan yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia saat ini. Hal ini demi memastikan terpenuhinya kebutuhan obat-obatan yang masuk ke dalam Golongan I serta kemandirian negara atas kualitas layanan kesehatan yang lebih baik.
“Para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan muatan materi dari Pasal 1 ayat (2) beserta Penjelasannya serta materi muatan Paragraf 7 dan Paragraf 8 uji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta Protokol yang Mengubahnya sepanjang kalimat ‘Protokol yang Mengubah Konvensi Tunggal Narkotika 1961’ dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengingat sepanjang tidak dimaknai sebagai ‘Protokol yang Mengubah Konvensi Tunggal Narkotika hingga protokol sesi ke-63 termasuk di dalamnya dokumen Commission on Narcotic Drugs Sixty-third sesion Vienna, 2-6 March 2020, yang menggunakan dokumen E/CN.7/2020/CRP.9’,” sebut Singgih yang menghadiri persidangan secara daring.
Perbandingan dengan Negara Lain
Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusional Daniel Yusmic P. Foekh memberikan nasihat perbaikan permohonan berupa keharusan para Pemohon untuk menguraikan pasal-pasal yang dijadikan landasan pengujian dengan kerugian konstitusionalitas norma yang terlanggar. Berikutnya, para Pemohon juga perlu memberikan perbandingan dengan keberlakuan konvensi internasional yang berlaku di beberapa negara lainnya.
Sementara Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menekankan tentang konsiderans “mengingat” yang diujikan para Pemohon. Sebab hal demikian dapat merusak konstruksi dari sebuah undang-undang. “Apa arti dari permintaan ini, jelaskan lagi sehingga tidak kabur. Kalau begini saja, Mahkamah akan menilai kabur karena petitum yag dibuat menimbulkan kebingungan,” jelas Guntur.
Sebelum menutup persidangan, Guntur menyebutkan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Naskah perbaikan permohonan selambat-lambatnya dapat diserahkan pada Senin, 26 Februari 2024 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi