Ketua MRP Uji UU Otsus Papua Soal Nominasi Kepala Daerah

JAKARTA, HUMAS MKRI – Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Tengah Agustinus Anggaibak mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 20 ayat (1) huruf a dan huruf e serta Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua). Agustinus Anggaibak (Pemohon) menilai pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan memohon kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memberikan tafsir baru atas kedua pasal yang diuji tersebut.

“Mahkamah Konstitusi perlu memberikan tafsir baru terhadap pasal-pasal tersebut sepanjang mengenai persetujuan terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur dan penentuan bakal calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota dari unsur orang asli Papua yang diusulkan oleh penyelenggara pemilihan kepala daerah dengan norma baru yang berbeda dengan norma sebelumnya,” ujar kuasa hukum Pemohon, Dede Gustiawan dalam sidang pendahuluan pada Selasa (27/8/2024) di Ruang Sidang MK, Jakarta.

Pemohon menjelaskan, dengan berlakunya UU Otsus Papua, ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a yang mengatur mengenal tugas dan wewenang MRP menyatakan, MRP memberikan “pertimbangan” dan “persetujuan” terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan oleh penyelenggara pemilihan kepala daerah. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf e beserta Penjelasan Umum UU Otsus Papua menyatakan, MRP memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRK, dan Bupati/Wali Kota mengenal hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak Orang Asli Papua.”

Selanjutnya dalam Penjelasan Umum Pasal 20 ayat (1) huruf e menyatakan, "Yang dimaksud dengan pertimbangan termasuk pertimbangan MRP kepada DPRK dalam hal penentuan bakal calon Bupati/Wakil Bupati dan Wali Kota/Wakil Wali Kota."

Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf e Penjelasan Umum UU Otsus Papua terkandung norma yang kabur dan terdapat ketidakjelasan materi muatan dengan Ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a yang menegaskan mengenai pertimbangan MRP dalam hal penentuan bakal calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota yang diusulkan oleh penyelenggara pemilu.

Hal tersebut, kata Pemohon, tentu saja akan menimbulkan multiinterpretasi baik bagi penyelenggara pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun MRP dalam memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota dalam pelaksanaan tugas dan wewenang MRP.  Selain itu, ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a dan huruf e tersebut tidak sejalan dengan Pasal 12 UU Otsus Papua yang menegaskan, "Yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat (a) Orang Asli Papua.

Menurut Pemohon, tentu akan berpotensi membatasi bahkan mengurangi tugas dan wewenang MRP untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota OAP di tingkat kabupaten/kota di Provinsi Papua. Dengan adanya ketidakjelasan konstitusionalitas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU Otsus Papua telah membatasi dan mengurangi hak konstitusional OAP untuk mengajukan diri sebagai bakal calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota yang diusulkan penyelenggara pemilu di tingkat kabupaten/kota di Provinsi Papua telah secara fakta menimbulkan kerugian konstitusional.

Dalam petitumnya, Pemohon memohon Mahkamah menyatakan Pasal 20 ayat (1) huruf a dan huruf e Penjelasan Umum UU Otsus Papua konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Artinya konstitusional sepanjang mengenai tugas dan wewenang MRP memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan oleh penyelenggara pemilihan kepala daerah sebagai berikut: MRP memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota dari unsur orang asli Papua yang diusulkan oleh penyelenggara pemilihan kepala daerah.

Termasuk juga Pasal 11 ayat (3) UU Otsus Papua konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Artinya konstitusional ketentuan mengenai tata cara pemilihan gubernur dan wakil gubernur diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: Ketentuan mengenai tata cara pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Nasihat Hakim

Persidangan panel untuk Perkara Nomor 110/PUU-XXII/2024 ini dipimpin Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah. Para hakim menekankan legal standing atau kedudukan hukum Pemohon selaku Ketua MRP. Arief mempertanyakan, apakah Ketua MRP dapat mewakili MRP sendiri untuk dapat mengajukan permohonan di Mahkamah.

“Kalau sebagai ketua itu apakah mendapat mandat dari pleno atau tidak, itu harus clear dulu,” kata Arief.

Menurut Arief, sebelum Pemohon menjelaskan kerugian konstitusional yang dialami akibat pasal-pasal yang diuji, Pemohon seharusnya bisa menguraikan dengan jelas terkait kedudukan hukum. Jika demikian, Pemohon dapat menjelaskan alasan-alasan permohonan dengan mendetailkan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan.

 

Penulis: Mimi Kartika.

Editor: Nur R.

Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi