Argumentasi Hukum Tak Jelas, Permohonan Uji UU Kekuasaan Kehakiman Tidak Dapat Diterima

JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan Pemohon Perkara Nomor 102/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian materi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak dapat diterima. Permohonan ini diajukan Oei Halim Wibisono yang pernah menjadi Penggugat yang mengajukan sengketa perkara perdata dengan Polri sebagai Tergugat di Pengadilan Negeri (PN) Nganjuk atas sengketa tanah di wilayah Nganjuk.

“Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta pada Kamis (29/8/2024).

Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah menuturkan pertimbangan hukum Mahkamah bahwa permohonan ini tidak menguraikan argumentasi hukum yang jelas dan memadai perihal pertentangan antara norma Pasal 50 ayat (1) UU 48/2009 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Sehingga sulit bagi Mahkamah untuk dapat mengetahui dengan jelas pertentangan antara norma dalam pasal yang diuji dengan UUD NRI Tahun 1945.

“Sebab, dalam positanya, Pemohon justru lebih banyak menguraikan fakta empiris terkait peristiwa hukum yang dialami Pemohon sebagai pencari keadilan di lingkungan peradilan umum serta banyak menguraikan penjelasan-penjelasan yang kurang relevan dengan norma yang dimohonkan pengujian, sehingga hal ini mengaburkan fokus permohonan a quo,” tutur Guntur.

Selanjutnya dalam petitum permohonannya, Pemohon mengajukan petitum alternatif angka 1 sampai dengan angka 6. Menurut Mahkamah, seluruh rumusan petitum permohonan a quo adalah tidak sesuai dengan ketentuan hukum acara pengujian undang-undang, dalam hal ini adalah Pasal 10 ayat (2) huruf d Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021. Rumusan petitum yang diajukan Pemohon demikian adalah tidak lazim dan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud.

Adapun salah satu syarat untuk menyatakan petitum permohonan yang ditentukan dalam ketentuan dimaksud, norma yang dimohonkan pengujian harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal tersebut tidak dicantumkan dalam petitum permohonan a quo. Dengan demikian, di samping uraian alasan-alasan permohonan (posita) tidak jelas sebagaimana dipertimbangkan di atas dan dengan adanya petitum Pemohon yang tidak lazim dan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (2) huruf d PMK 2/2021, maka menurut Mahkamah posita dan petitum Pemohon adalah tidak jelas atau kabur yang sekaligus mengakibatkan permohonan Pemohon menjadi tidak jelas atau kabur (obscuur).

“Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon kabur, terhadap kedudukan hukum, pokok permohonan dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya,” jelas Guntur.

Baca juga:

Seorang Warga Uji Enam Undang-Undang Sekaligus ke MK
Sengketa Tanah dengan Polri, Warga Uji UU Kekuasaan Kehakiman

Sebagai informasi, Pasal 50 ayat (1) UU 49/2009 berbunyi, “Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.”

Menurut Oei, norma Pasal 50 ayat (1) UU 48/2009 sebagian materinya kabur dan sebagian lagi materinya jelas yang bersifat memaksa, telah memberi kekuasaan hakim untuk menerapkan format putusan perkara satu dengan lainnya berbeda/berlainan. Kemudian, menurut Oei, pada praktiknya di lapangan putusannya justru tidak memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi (MK) ini berangkat dari persoalan Oei pernah menjadi Penggugat yang mengajukan sengketa perkara perdata dengan Polri sebagai Tergugat di Pengadilan Negeri (PN) Nganjuk. Dia mengaku sebagai pemilik sah atas rumah/tanah Hak Guna Bangunan No 15 asal konversi Eigendom Perponding No 667 (hak barat) atas nama pemegang hak Soen Thjoen Bie yang masa berlakunya berakhir pada 23 September 1990 terletak di Jl Kartini No 11 Nganjuk. Pemohon beli dari segenap ahli waris almarhum Soen Thjoen Bie pada 26 Januari 2012.

Pada 26 Januari 2012, Pemohon telah menerima secara sah peralihan rumah/tanah negara bekas Hak Guna Bangunan tersebut. Namun, Pemohon menyebut belum dapat menempatinya karena rumah berikut tanah yang saat itu berstatus Hak Guna Bangunan telah diserobot Polri pada 1967. Menurut Pemohon, alasan Polri menyerobot kemudian menempati rumah dimaksud adalah karena rumah bersangkutan ditinggalkan atau ditelantarkan oleh pemegang hak (Soen Tjhoen Bie) yang tidak diketahui keberadaannya.

Sementara, PN Nganjuk menjatuhkan putusan pada perkara yang diajukan Pemohon dengan menyatakan tanah yang digugat termasuk tanah terlantar. Menurut Pemohon, Majelis Hakim PN Nganjuk tidak menjalankan selurus-lurusnya Pasal 50 ayat (1) UU 48/2009 yang mengharuskan putusan pengadilan memuat pasal dari UU Nomor 5 Tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yang dijadikan dasar hukum Hakim PN Nganjuk untuk mengadili/memutus perkara.

Kemudian, gugatan Pemohon itu sampai di Mahkamah Agung (MA). Namun, karena tidak tertulisnya secara jelas dan rinci format/bentuk putusan perdata MA sebagaimana ditentukan Pasal 184 ayat (1) HIR telah menyebabkan Pemohon tidak mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum dan kepastian hukum yang adil.(*)

Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan

Source: Laman Mahkamah Konstitusi