Refleksi Kinerja 2016, MK Putus 12 Perkara Tiap Bulan
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar jumpa pers dalam rangka penyampaian laporan kinerja MK 2016 dan proyeksi kinerja MK 2017 mendatang. Penyampaian laporan tersebut dilakukan Ketua MK Arief Hidayat didampingi Wakil Ketua MK Anwar Usman dan Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah, Kamis (29/12) di Lobi Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam keterangan persnya, Arief menjelaskan sepanjang 2016 MK meregistrasi 111 perkara pengujian undang-undang (PUU). Adapun perkara 2015 yang masih dalam proses sebanyak 63 perkara sehingga total keseluruhan perkara PUU yang ditangani MK sebanyak 174 perkara. Dari jumlah keseluruhan perkara PUU yang ditangani pada 2016 tersebut, MK telah memutus sebanyak 96 perkara. Sebanyak 78 perkara masih dalam proses pemeriksaan yang dilanjutkan pada 2017.
“Adapun jika dirinci berdasarkan amar putusan, sebanyak 19 perkara dikabulkan, 34 perkara ditolak, 30 perkara tidak dapat diterima, 3 perkara gugur, 9 perkara ditarik kembali oleh Pemohon, dan 1 perkara dinyatakan MK tidak berwenang untuk memeriksa,” ucap Arief di hadapan awak media.
Terkait jumlah putusan tahun 2016 yang lebih sedikit dari tahun lalu, Arief menjelaskan MK hanya memiliki waktu tujuh bulan untuk memeriksa perkara PUU. Pada awal tahun, MK memeriksa dan memutus perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, tepatnya sejak Januari hingga Mei 2016. Dengan demikian, sebenarnya MK telah memutus sebanyak 12 putusan per bulan.
“Mengenai penelitian LSM, mereka berbeda bilangan pembaginya, yang seharusnya 8 bulan menjadi 12 bulan. Lagipula penyelesaian pengujian undang-undang tidak ada batas waktu sehingga kami tidak ingin terburu-buru. Belum lagi kompleksitas substansi norma yang diuji bisa berpengaruh pada penyelesaian sebuah perkara PUU,” ujar Arief menanggapi isu molornya kinerja MK yang dilansir sebuah LSM.
Arief menyebut dari total 72 undang-undang yang dimohonkan untuk diuji ke MK selama 2016, undang-undang yang memiliki frekuensi pengujian paling tinggi adalah UU Pilkada yang diuji sebanyak 17 kali. Sedangkan putusan sepanjang 2016 yang menarik perhatian publik, di antaranya Putusan UU Pilkada (hak pilih bagi pengidap gangguan jiwa non permanen), UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (alat berat bukan moda transportasi), KUHAP (jaksa tidak boleh ajukan PK), UU Grasi (pengajuan grasi tanpa limitasi), UU Ketenagakerjaan (pengusaha harus membayar penuh upah tertangguh), UU Rumah Susun (pengembang wajib fasilitasi pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun), UU ITE (penyadapan seizin aparat berwenang), UU Perkawinan (perjanjian dapat dilakukan pada masa perkawinan), UU Ketenagalistrikan (listrik untuk kepentingan umum dapat dikelola swasta dibawah kontrol negara), UU KPK (KPK berwenang mengangkat penyidik) serta UU Perkebunan (petani kecil dapat memuliakan tanaman tanpa izin).
Menurut Arief, semakin banyaknya undang-undang yang diajukan, bukan berarti undang-undang yang dibuat tidak bagus. Namun masyarakat Indonesia sudah semakin paham terhadap hak konstitusionalnya. “Semakin banyak PUU yang masuk bukan karena undang-undang yang jelek tapi masyarakat yang meningkat kesadarannya mengenai hak-hak konstitusionalnya. Undang-undang yang banyak diujikan pun bukan berarti banyak yang dikabulkan. Hanya sekitar 10-20% perkara yang dikabulkan,” tegas Arief.
Sementara terkait kiprah MK di dunia internasional, MK kembali terpilih menjadi Presiden The Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions (AACC) hingga satu tahun ke depan berdasarkan kesepakatan pada kongres ketiga yang diselenggarakan di Bali pada Agustus 2016. Indonesia pun terpilih menjadi Sekretariat Tetap Bidang Perencanaan dan Koordinasi AACC. “Hakim konstitusi diapresiasi dan diundang dalam forum internasional terkait MK dan lembaga sejenis baik tingkat Asia maupun Eropa. Putusan MKRI pun sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris terutama landmark decision,” tambahnya.
Peningkatan Uji Materi
Pada 2017, MK memperkirakan akan lebih banyak menangani perkara PUU. Diperkirakan MK akan menerima sebanyak 205 perkara pengujian undang-undang pada 2017 mendatang. Sedangkan untuk perkara PHP Kada Serentak 2017, MK memprediksi jumlah perkara yang masuk akan lebih sedikit dari perkara PHP Kada Serentak 2015. Sebab, jumlah daerah yang mengikuti pilkada serentak gelombang kedua pun lebih sedikit, yakni 101 daerah. MK memperkirakan akan memeriksa dan memutus sebanyak 138 perkara PHP Kada Serentak 2017 mendatang. “Untuk perkara SKLN, MK memprediksi pengajuan perkara SKLN tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Perkara SKLN rata-rata diajukan tiap tahun sebanyak 2 perkara,” jelasnya.
Dalam rangka menghadapi penanganan Pilkada Serentak 2017, MK menerbitkan PMK Nomor 01 Tahun 2016 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota; PMK Nomor 02 Tahun 2016 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Dengan Satu Pasangan Calon; PMK Nomor 03 Tahun 2016 Tentang Tahapan, Kegiatan, dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota; serta PMK Nomor 04 Tahun 2016 Tentang Pedoman Penyusunan Permohonan Pemohon, Jawaban Termohon, dan Keterangan Pihak Terkait. PMK tersebut menjadi pedoman penanganan Pilkada Serentak 2017, termasuk menyiapkan aplikasi untuk pemohonan online.
“Di samping itu, MK menyelenggarakan bimtek sebanyak 5 angkatan yang meliputi dua angkatan untuk penyelenggara pemilu dan tiga angkatan untuk pasangan calon, termasuk para kuasa hukum serta kuasa hukum yang sering berperkara di MK,” tandasnya.
(Lulu Anjarsari/lul)
Source: Laman Mahkamah Konstitusi