Ketua MK: Dosen Kewarganegaraan Penting dalam Membangun Karakter Bangsa
Peran dosen, khususnya dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, penting dalam rangka membangun karakter bangsa. Hal tersebut ditegaskan Ketua MK Arief Hidayat saat memberikan sambutan dalam Sosialisasi Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara Bagi Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Wilayah Sulawesi Selatan, Senin (19/9) di Makassar.
Arief menuturkan pihaknya selalu selalu menyambut baik kerja sama dalam rangka memberikan pemahaman hak konstitusional warga negara, khususnya bagi dosen PKn. Menurutnya, masih banyak mahasiswa yang berpikir Mata Kuliah PKn tidak penting karena tidak berkaitan dengan pekerjaan, padahal Mata Kuliah PKn penting bagi keberlangsungan bangsa indonesia.
“Saya selalu mendukung para dosen yang mengabdi di bidang Pancasila dan Kewarganegaraan. Para dosen ini memiliki posisi yang strategis untuk bisa saling membina, khususnya dalam rangka pembangunan karakter bangsa,” tuturnya di hadapan Walikota Makassar Danny Pomanto, Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah, dan anggota Asosiasi Dosen PKn Wilayah Sulawesi Selatan sebagai peserta sosialisasi.
Ia pun menyebut saat ini bangsa Indonesia telah kehilangan orientasi. Orientasi sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini, menurutnya, adalah kekayaan lantaran orang lain menghargai seseorang kekayaannya. “Orientasi kita seharusnya adalah mengabdi pada nusa dan bangsa. Apapun jabatan kita, orientasinya adalah untuk kepentingan masyarakat luas,” tegas Arief.
Harmonisasi Undang-Undang
Dalam kesempatan tersebut, Arief juga menyampaikan bahwa MK senantiasa berusaha menjaga harmonisasi, konsistensi, koherensi dan korespondensi undang-undang dengan Undang-Undang Dasar 1945. “Undang-undang yang dibuat oleh DPR dan presiden dapat diuji ke Mahkamah Konstitusi. Kalau tidak konsisten, tidak koheren, dan bertentangan dengan Konstitusi, pasti kita batalkan,” ujarnya.
Salah satu putusan MK yang membatalkan undang-undang adalah Putusan MK Nomor 85/PUU-XII/2013 yang membatalkan seluruh Undang-Undang Sumber Daya Air. Undang-undang tersebut, jelas Arief, berpotensi memprivatisasi air karena air dikuasai oleh sektor-sektor swasta. “Air menjadi komoditas, padahal air adalah untuk kepentingan masyarakat indonesia yang tidak bisa dikuasai oleh sektor swasta,” jelasnya.
Arief pun menegaskan, selain menjadi guardian of the constitution, MK juga berperan sebagai interpreter of the constitution atau penafsir konstitusi. Konstitusi di Indonesia, jelasnya, bisa hidup karena MK selalu menafsirkan konstitusi, sehingga mempelajari putusan MK sama dengan mempelajari praktik konstitusi di indonesia. “Pasti konstitusi itu membutuhkan penafsiran baru untuk menyesuaikan dengan situasi dan perkembangan kondisi Republik Indonesia ini,” imbuhnya.
Sejarah MK
Sementara Sekjen MK M. Guntur Hamzah mengisi kuliah umum yang bertajuk “Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan” di Fakultas Sastra Universitas Muslim Indonesia Makassar. Dalam kesempatan tersebut, Guntur memaparkan sejarah MK.
Guntur menjelaskan pada 1919, Guru Besar Hans Kelsen dari Austria menggagas bahwa Undang-Undang Dasar sebagai hukum tertinggi perlu dikawal agar tindakan parlemen membentuk undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi. Berangkat dari hal tersebut, pada 1920 untuk pertama kalinya dibentuk MK di Austria. “Sebelumnya, sebenarnya ada MK di Ceko tapi tidak berfungsi, sehingga yang pertama dikenal di dunia adalah MK Austria,” jelasnya.
MK kemudian berkembang di berbagai negara Eropa, kemudian resmi lahir di Indonesia pada 13 Agustus 2003 berdasarkan amandemen UUD 1945 yang ketiga. Sebelumnya, pada 1945 Muhammad Yamin pun pernah menggagas perlunya lembaga Balai Agung yang membanding undang-undang terhadap UUD 1945. “Tetapi gagasan tersebut tidak terlaksana karena pada waktu itu Indonesia dianggap belum memiliki ahli-ahli yang dapat melakukan kewenangan tersebut,” jelas Guntur.
Akhirnya pada 2003, MK terbentuk dengan 4 kewenangan dan 1 kewajiban, yaitu menguji undang-undang terhadap UUD 1945, menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, membubarkan partai politik, menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum. Adapun kewajiban MK adalah memutus ketika ada dugaan DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum (pemakzulan presiden). Dari total 5 kewenangan dan kewajiban tersebut, hanya tiga yang sudah dijalankan. “Kita berdoa dua kewenangan tersebut, yakni pembubaran partai politik dan pemakzulan presiden tidak dilaksanakan. Kalau terlaksana, berarti terjadi bahaya di negara kita,” tegas Guntur.
(Agung/lul)
Source: Laman Mahkamah Konstitusi