Ketua MK: Konstitusi Kunci Utama Menjalankan Putusan MK
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat menjadi pembicara kuliah umum yang bertema \\"Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Proses Legislasi Menuju Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan\\". Kuliah umum yang merupakan rangkaian dari kegiatan Pekan Konstitusi tersebut diselenggarakan di Gedung Aula Serbaguna Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Kamis (1/9).
Dalam paparannya, Arief menyebut setidaknya terdapat tiga persoalan utama dalam implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi. Pertama, MK tidak memiliki instrumen pemaksa menegakkan putusannya. Bahkan, Arief mengutip pernyataan Alexander Hamilton dalam tulisannya di the Federalist Paper, Mahkamah Konstitusi dapatlah dipandang sebagai cabang kekuasaan negara yang paling “lemah”.
Terkait dengan itu, persoalan kedua adalah implementasi putusan MK yang sangat bergantung pada cabang kekuasaan lain, apakah putusan-putusannya diterima dan apakah mereka siap untuk mematuhinya. Persoalan terakhir, Arief menegaskan implementasi Putusan MK memerlukan tindakan kolaboratif dan kesadaran kolektif lembaga-lembaga di semua kekuasaan negara. Sebab, implementasi kaidah-kaidah penting UUD 1945 bukan semata-mata menjadi tugas MK.
Dikatakan Arief, proses pengejewantahan dan penegakan kaidah-kaidah konstitusi dalam kehidupan nyata tidak dapat dilakukan dan diwujudkan sendirian oleh Mahkamah Konstitusi tanpa ada tindakan dan kesepakatan kolektif dari institusi-institusi dan aktor negara lainnya. Di negara manapun, tegasnya, tidak akan ada satu pihak pun atau satu lembaga pun yang akan berhasil mengimplementasikan konstitusi jika ia tampil sendirian.
“Namun demikian, dalam pandangan saya, dikaitkan dengan hakikat Putusan MK sebagai cerminan nilai-nilai konstitusi, maka alat kekuasaan sesungguhnya yang dimiliki MK untuk memaksakan putusannya, bukan lain adalah konstitusi itu sendiri,” ujarnya di hadapan Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan I Nyoman Suyatna, Dekan Fakultas Hukum Made Arya Utama, serta civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Arief melanjutkan, dengan sifat Putusan MK final dan mengikat, setiap pihak yang terkait dengan putusan harus melaksanakan putusan itu. “Artinya, tidak terdapat celah untuk menghindar dari kewajiban untuk menaati konstitusi in casu Putusan Mahkamah Konstitusi,” imbuhnya.
Pembaharuan Hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian undang-undang, terutama yang menyatakan undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, memuat kandungan kebijakan hukum baru yang harus ditempuh di masa depan. Dengan demikian, Arief menyatakan Putusan MK memuat legal policy baru yang kemudian memperbarui politik hukum yang lama.
“Dengan kata lain, kebijakan hukum yang dirumuskan oleh pembentuk undang-undang, dikesampingkan dan digantikan oleh kebijakan hukum yang baru, yang dirumuskan oleh MK melalui putusannya,” imbuh Arief.
Putusan MK, jelasnya, sudah seharusnya diposisikan sebagai pijakan terpenting dalam merumuskan politik dan pembaharuan hukum nasional. Atas dasar itu, Putusan Mahkamah Konstitusi haruslah menjadi acuan bagi pembentukan undang-undang di masa mendatang.
“Materi muatan undang-undang yang dibentuk di masa yang akan datang, terutama undang-undang yang merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi, haruslah sesuai dan tidak bertentangan dengan jiwa yang terkandung dalam pertimbangan hukum putusan mahkamah konstitusi,” tandas Arief.
Dalam kegiatan Pekan Konstitusi tersebut, turut hadir Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna sebagai narasumber Seminar Nasional dan Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah. Kegiatan tersebut berlangsung hingga Sabtu (3/9).
(M. Hidayat/lul)
Source: Laman Mahkamah Konstitusi