Peserta Simposium Internasional Kemenkumham Kunjungi MK

Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat kunjungan 17 peserta International Symposium on Comparative Perspective on Legislation making and Constitutional Rights Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Kunjungan tersebut disambut langsung oleh Ketua MK Arief Hidayat dan Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah, Selasa (23/8) di Ruang Delegasi Gedung MK.

Tujuan kunjungan para peserta yang didampingi Dirjen Peraturan Perundang Undangan  Kemenkumham Widodo Ekatjahjana tersebut untuk memberikan gambaran terkait fungsi dan peran MK dalam ketatanegaraan Indonesia.

Mengawali paparannya, Arief menjelaskan sejarah MKRI yang baru saja menginjak usia 13 tahun pada 13 Agustus 2016 lalu. MKRI merupakan simbol manifestasi penjaga Konstitusi dan ideologi bernegara Indonesia.

Meski baru berusia 13 tahun, Arief menegaskan bahwa MKRI telah menjadi perhatian, baik di kancah nasional maupun internasional. Pada kancah internasional, putusan MKRI telah banyak dipelajari negara lain. \\\"Ini simbol progesifitas dan kemajuan MK,\\\" katanya menegaskan.

Selain itu, Arief menyebut MKRI sebagai lembaga peradilan modern telah membangun infrastruktur dalam rangka memajukan dunia konstitusi Indonesia dengan menyediakan video conference pada lebih dari 40 perguruan tinggi di Indonesia. “Tujuannya untuk mempermudah persidangan apabila pemohon, saksi, atau ahli berhalangan hadir dalam sidang MK. Selain itu, video conference juga dimanfaatkan untuk kuliah umum jarak jauh,” jelasnya.

Wawancara Pribadi

Usai memberikan pemaparan kepada para peserta simposium, Arief memberikan kesempatan wawancara kepada dua peserta delegasi dari lembaga kajian CPG Thammasat Thailand, yakni Henning Glaser dan Duc Quang Ly. Tujuan wawancara tersebut adalah untuk pembuatan jurnal internasional.

Menjawab pertanyaan pertama, Arief menjelaskan dasar konstitusi Indonesia dan landasan filosofisnya. Ia menyatakan hukum di Indonesia didasari oleh Pancasila yang di dalamnya terdapat nilai-nilai Ketuhanan dan religiusitas. “Sebab Indonesia bukan negara sekuler tetapi juga bukan engara agama. Di sinilah letak keunikannya,” jelasnya.

Menanggapi pertanyaan terkait kekuatan putusan MK, Arief menyebut MK tidak memiliki lembaga eksekutor. Sehingga untuk memastikan putusannya dilaksanakan, upayanya adalah melakukan diseminasi dan sosialisasi kepada masyarakat. “Salah satu upayanya adalah dengan mendirikan Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi,” jelasnya.

Kendati tidak ada konsekuensi hukuman apabila putusan MK tidak dijalankan, Arief menilai sejauh ini putusan MK selalu dipatuhi oleh publik. “Terhitung sejak MK berdiri pada rezim Presiden Megawati hingga Presiden Jokowi belum pernah ada yang tidak dilaksanakan,” tegasnya. (ars/lul)

Source: Laman Mahkamah Konstitusi