Ketua MK: Perlu Ada Antisipasi Perubahan Hukum Acara MK
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat menjadi keynote speaker Seminar Nasional yang bertajuk “Refleksi Pelaksanaan Hukum Acara MK dalam Meneguhkan Kekuasaan Kehakiman dan Modern dan Terpecaya, Jumat (20/5) di Jember, Jawa Timur. Acara tersebut merupakan kerja sama antara MK dengan Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) FH Universitas Jember.
Dalam paparannya, Arief mengapresiasi seminar sekaligus lokakarya yang mengangkat tema hukum acara MK. Dalam perjalanan selama 13 tahun, ia menyatakan banyak sekali hal-hal yang tidak terpikirkan akan terjadi terkait menjalankan kewenangan MK. “Kita tahu bahwa dalam Undang-Undang MK, baik ketentuan formil maupun ketentuan materiil yang mengatur hukum acara MK dirasa kurang lengkap sehingga kita beruntung dengan adanya Pasal 86 (UU MK) yang memberikan kewenangan untuk mengatur lebih lanjut hukum acara MK,” ujarnya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, lanjut Arief, MK menyusun Peraturan MK yang mengatur tata cara menjalankan kewenangan MK. Namun, dalam UU MK maupun dalam Peraturan MK, hal yang diatur secara detail lebih banyak terkait pengujian undang-undang. “Kewenangan-kewenangan lain, dalam hal pembubaran partai politik, mekanisme impeachment, dan sebagainya, tidak ada hukum acara yang lengkap,” imbuhnya.
Arief menyadari suatu saat nanti bukan tidak mungkin MK akan mengadili perkara pembubaran partai politik. Sebagai guardian of constitution, sekaligus guardian of ideology, MK harus mengadili partai politik yang diduga memiliki ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. “Kita harus mulai mengantisipasi hal-hal semacam ini, bisa dengan perubahan undang-undang atau bisa kita menyiapkan hukum acara melalui Peraturan MK,” tutur Arief.
Selain itu, Arief juga menegaskan hal lain yang perlu diantisipasi, yakni perubahan-perubahan hukum acara MK lantaran perubahan hukum materiilnya, di antaranya terkait pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan anggota legislatif (pileg), dan pemilihan presiden (pilres). Ia mencontohkan perubahan hukum acara dalam penanganan perselisihan hasil pilkada karena ketentuan menyatakan pilkada harus serentak. “Tadinya hukum acara MK hanya untuk pilkada tidak serentak, begitu serentak kemudian berubah. Begitu juga nanti pada pileg dan pilpres serentak maka kita harus antisipasi adanya perubahan hukum acara,” imbuhnya.
Dalam seminar dan lokakarya yang digelar pada 20-22 Mei 2016 tersebut, turut hadir Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah yang menjadi narasumber lokakarya.
Kuliah Umum
Masih dalam rangkaian Pekan Konstitusi Puskapsi FH Universitas Jember, Arief juga menyempatkan memberikan kuliah umum di FH Universitas Jember. Dalam paparannya, Arief menjelaskan landasan filosofis Indonesia menjadi negara berdasarkan hukum dan demokrasi.
Arief menjelaskan, terdapat satu perjanjian perjanjian luhur yang telah disepakati The Founding Fathers. Perjanjian tersebut merupakan landasan bagi bangsa Indonesia untuk memilih berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia ini. “Saat Ketua BPUPKI menanyakan pada para pendiri negara kita akan mendirikan negara indonesia dengan dasar bagaimana? Para pendiri negara berdiskusi tidak hanya diskusi fisik tapi juga dilingkupi suasana kebatinan yang luar biasa,” ungkapnya.
Para Founding Fathers berdiskusi dengan hati nurani untuk bisa bersatu mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan terlepas dr penjajahan. Saat itu, menurut Arief, diskusi tersebut dilingkupi atmosfer suasana kebatinan yang luhur dengan disinari oleh sinar Ketuhanan. “Sehingga diskusinya saat elok dan bagus, penuh saling menerima dan memberi, tidak ada ego satu orang dengan yang lain,” jelasnya.
Suasana seperti itu yang menurut Arief tidak tercermin oleh para elit politik Indonesia saat ini. Hal tersebut membuat para elit politik selalu memiliki pandangan yang berbeda, saling egois, saling tidak mau percaya satu sama lain, dan mementingkan ego masing-masing sehingga suasana Indonesia masih karut marut sampai saat ini. Oleh karena itu, Arief berharap, kelak para penerus bangsa senantiasa meneladani para Founding Fathers dalam berbangsa dan bernegara. “Saya berpesan pada mahasiswa yang kelak akan menjadi pemimpin Indonesia, kita bernegara harus dilandasi suasana kebatinan yang positif,” tegasnya. (agung/lul)
Source: Laman Mahkamah Konstitusi