Gugat Pilgub Sumbar, Pemohon Uji UU Pilkada Tidak Hadiri Sidang

Undang-Undang No.8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang kembali diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon merupakan pemilih dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Barat, yakni Guntur Abdurrahman, Adam Malik, Jefrinaldi, dan Farizi Fadillah. Sidang perdana perkara dengan Nomor 2/PUU-XIV/2016 tersebut digelar pada Selasa (23/2) di Ruang Sidang MK.

Namun dalam sidang perdana yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat itu, keempat pemohon tidak hadir dan tidak memberikan kabar. “Karena Pemohon tidak hadir, pemerintah juga karena ini sidang pendahuluan tidak hadir. Karena kita akan mendengarkan permohonannya, maka sidang ditutup dan nanti akan diputuskan apakah bisa ditunda atau sudah diputus. Karena tidak ada kabar dari Pemohon, menunjukkan keseriusan atau tidaknya permohonan ini,” tandas Arief.

Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 74 ayat (3) UU 8/2015 yang menyatakan, “Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang mengusulkan pasangan calon wajib memiliki rekening khusus dana Kampanye atas nama pasangan calon dan didaftarkan kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

Pemohon menjelaskan bahwa ketentuan tersebut memerintahkan agar partai politik (parpol) atau gabungan parpol yang mengusulkan pasangan calon wajib memiliki rekening khusus dana kampanye atas nama pasangan calon dan didaftarkan kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. Namun, dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Barat, Pasangan Calon Nomor Urut 1 Muslim Kasim-Fauzi Bahar dan Paslon Nomor Urut  2 Irwan Prayitno–Nasrul Abit yang ditetapkan oleh KPU sebagai paslon memenuhi syarat, tidak memiliki rekening khusus dana kampanye. Hal tersebut telah dilaporkan ke Bawaslu Provinsi Sumatera Barat sebagai salah satu pelanggaran hukum pada tahap pencalonan.

Pemohon merasa terdapat kelemahan dalam UU 8/2015 karena tidak mengatur secara eksplisit konsekuensi hukum bagi para pihak atau paslon kepala daerah yang tidak mengikuti ketentuan Pasal 74 ayat (3) tersebut.  Menurut Pemohon, jika ketentuan a quo dimaknai sebagai pelanggaran terhadap norma tersebut tidak memiliki konsekuensi hukum, hal itu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Jika pelaksanaan pemilihan umum/pemilihan kepala daerah tidak dilaksanakan sejalan dengan UUD 1945, maka tindakan tersebut adalah tindakan inkonstitusional sehingga perlu dilakukan judicial review.

Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK memerintahkan KPU Sumatera Barat untuk menghentikan, atau sekurang-kurangnya menunda tahapan pemilihan Gubernur Sumatera Barat 2015, dan mencabut atau sekurang-kurangnya menunda berlakunya Surat Keputusan KPU Sumatera Barat Nomor 77/2015, tanggal 24 Agustus 2015 tentang Penetapan Pasangan Calon peserta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat Tahun 2015 sampai adanya putusan MK dalam perkara a quo. (Lulu Anjarsari/Annisa Lestari/lul)

Source: Laman Mahkamah Konstitusi