Warga Kabupaten Indragiri Hilir Gugat UU Perusakan Hutan
Tiga orang warga Kecamatan Kemuning, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau menggugat Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ketiganya yaitu Edi Gunawan Sirait, Bejo, dan Bharum Purba menggugat ketentuan dalam Pasal 1 angka 2, angka 6, Pasal 82 ayat (2), Pasal 92 ayat (1), serta Pasal 93 ayat (1) dan (2) UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan karena telah mengkriminalisasi Pemohon selaku petani dan peladang di kawasan hutan yang telah mereka tempati turun-temurun.
Pada sidang pendahuluan perkara No. 139/PUU-XIII/2015 yang digelar Selasa (24/11) tersebut, Guntur Rambe selaku kuasa hukum para Pemohon menyampaikan pokok-pokok permohonan Pemohon di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Aswanto. Guntur menyampaikan para Pemohon yang telah berdomisili secara turun-temurun di kawasan hutan di Kabupaten Indragiri Hilir telah diperlakukan secara represif akibat berlakunya pasal-pasal yang diujikan oleh Pemohon.
Desa yang dihuni oleh Pemohon sejak diterbitkannya surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang Tata Guna Hutan tertanggal 6 Juni 1986 telah ditetapkan sebagai wilayah berstatus Area Peruntukkan Lain (APL). Padahal menurut Pemohon, sebelum surat tersebut diterbitkan, masyarakat dewa di Kabupaten Indragiri Hilir telah memanfatkan tanah di sekitarnya untuk pertanian dan perladangan. Sejak dulu menurut Pemohon pengelolaan tanaman dan budidaya dilakukan secara berpindah-pindah dengan luar areal yang bervariasi. Kegiatan yang dilakukan Pemohon dan masyarakat sekitar menurut Pemohon telah dilindungi oleh Pasal 28I ayat (3 UUD 1945 yang menyatakan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional harus dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban.
Namun, kehidupan masyarakat adat seperti yang dialami Pemohon terganggu oleh penerapan pasal-pasal yang diujikan oleh Pemohon. Akibat diberlakukannya pasal a quo, Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir memerintahkan penghentian segala aktivitas Namun, kehidupan masyarakat adat seperti yang dialami Pemohon terganggu oleh penerapan pasal-pasal yang diujikan oleh Pemohon. Oleh karena itu melalui kuasa hukumnya Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan pasal-pasal yang diajukan untuk diuji oleh Pemohon dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Oleh karenanya, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ketiga, menyatakan Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 6, Pasal 82 ayat (2), Pasal 92 ayat (1), Pasal 93 ayat (1), Pasal 93 ayat (2)dinyatakan harus dicabut atau batal,” ujar Guntur Rambe.
Saran Hakim
Usai mendengar penjelasan Pemohon, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati memberikan saran agar Pemohon memperjelas permohonannya. Sebab, Maria melihat permohonan Pemohon belum disusun dengan benar sehingga menimbulkan kebingungan. Hal tersebut juga berlanjut pada petitum permohonan Pemohon yang dirasa tidak jelas.
Sementara itu Hakim Konstitusi Patrialis Akbar melihat penjelasan Pemohon lebih banyak mengenai kerugian akibat kasus konkrit, bukan diakibatkan inkonstitusionalitas norma. “Jadi jangan sampai ada kesan dalam permohonan ini, seakan-akan kerugiannya itu lebih banyak pada kerugian-kerugian konkret yang bukan merupakan kerugian konstitusional. Ini saya kira sama, jadi pintu masuknya tolong diperbaiki lagi,” saran Patrialis.
Sebelum menutup sidang, Aswanto mengingatkan Pemohon untuk menyerahkan perbaikan permohonan paling lambat 14 hari sejak sidang kali ini digelar. “Jadi Saudara diberi kesempatan sampai Senin, tanggal 7 Desember 2015, pukul 10.00 WIB. Itu waktu yang diberikan kepada Saudara. Tetapi kalau Saudara ingin memperbaiki lebih awal, ingin memasukkan lebih awal sebelum waktu yang ditentukan tadi, itu lebih bagus lagi karena itu juga memengaruhi nanti kapan kita akan sidang selanjutnya,” tutup Aswanto. (Yusti Nurul Agustin)
Source: Laman Mahkamah Konstitusi