MK Gelar Sosialisasi Whistleblowing System pada Para Pegawai
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sosialisasi whistleblowing system (WBS) dalam pengadaan barang dan jasa kepada kepara pegawai di lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK. Acara sosialisasi yang digelar di Aula Lantai Dasar Gedung MK tersebut menghadirkan perwakilan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) sebagai narasumber.
Membuka kegiatan sosialisasi, Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah menuturkan pentingnya mendalami WBS sebagai upaya melakukan pencegahan dini dari hal-hal yang tidak diinginkan. Ia mengingatkan pada para pegawai MK untuk senantiasa menjalankan tugas dengan niat baik agar tidak terjadi penyimpangan.
“Saya berdeklarasi tidak akan melakukan hal-hal yang membuat teman-teman menyimpang, maka saya harap juga semua pengawai di lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK memberikan masukan-masukan kepada pimpinannya agar tidak terjadi kesalahan yang kemudian dianggap sebagai penyimpangan,” ujarnya saat memberikan sambutan, pada Rabu (2/9).
Guntur menjelaskan, keberadaan WBS akan menampung semua laporan terkait dengan penyimpangan atau kesalahan dalam pengadaan barang dan jasa melalui aplikasi, sehingga semua pegawai dapat melaporkan hal-hal yang menyimpang tanpa perlu takut. Selain itu, aplikasi WBS dapat menjaga agar kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di MK tetap pada jalur yang benar dan para pegawai MK dapat menuntaskan tugasnya dengan tenang.
Dalam aplikasi yang dapat diakses melalui website resmi www.mahkamahkonstitusi.go.id, pelapor harus menyertakan identitasnya untuk menghindari fitnah. “Jangan sampai sampah yang masuk di aplikasi kita. Kalau informasi gosip-gosip yang masuk lalu di-follow up, kasihan yang bersangkutan difitnah,” imbuhnya.
Sementara, Direktur Penanganan Permasalahan Hukum LKPP R. Fendy Dharma Saputra menuturkan, pengadaan barang/jasa masih berada di tiga besar kasus korupsi. Berdasarkan data kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), pada 2013 terdapat 9 kasus pengadaan barang/jasa dari 70 kasus korupsi. Sedangkan pada 2014, persentase kasus korupsi pengadaan barang/jasa meningkat, yakni sebanyak 15 dari 58 kasus korupsi.
Menurutnya, salah satu upaya untuk menurunkan indeks korupsi pengadaan barang/jasa adalah dengan WBS. Adapun dasar hukum WBS adalah ratifikasi United Nation Convention Against Corruption Tahun 2003 melalui UU No. 7 Tahun 2006, Peraturan Presiden No. 55/2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2010-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2010-2014. Dasar hukum WBS juga tertuang dalam Pasal 116 ayat (2), (3), (4) Perpres No. 70/2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta dalam Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK).
Lebih lanjut, Ia menjelaskan WBS dikembangkan karena kekhawatiran pelapor tidak memiliki keberanian untuk melaporkan hal-hal yang kurang sesuai melalui mekanisme pengaduan biasa. Fendy juga mengatakan WBS sejatinya diciptakan untuk di lingkungan kerja sendiri karena yang tahu persis mengenai data dan informasi penyimpangan adalah orang-orang dalam instansi.
Adapun tujuan lain dikembangkan WBS adalah meningkatkan upaya pencegahan dan pemberantasan kasus KKN dalam pengadaan barang/jasa, mendorong pengungkapan penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan dalam pengadaan barang/jasa, dan meningkatkan sistem pengawasan yang memberikan perlindungan kepada whistleblower dalam rangka pemberantasan korupsi dalam pengadaan barang/jasa. (Lulu Hanifah/IR)
Source: Laman Mahkamah Konstitusi