Mahasiswa Universitas Yos Sudarso Surabaya Kunjungi MK
Kepala Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (P4TIK) Mahkamah Konstitusi (MK), M. Guntur Hamzah menerima kunjungan para mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Yos Sudarso Surabaya ke MK, Jumat (27/2) siang.
Pada kesempatan kunjungan tersebut, Guntur yang juga merupakan guru besar ilmu hukum FH Universitas Hasanuddin menjelaskan mengenai Teori Stufenbau terkait sistem hukum di dunia dari Profesor Hans Kelsen. “Teori ini biasa juga disebut dengan Teori Tangga, Teori Bertingkat, atau Teori Berjenjang,” kata Guntur kepada para mahasiswa.
Guntur menerangkan, Teori Stufenbau adalah teori mengenai sistem hukum yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang, bahwa norma hukum yang paling rendah harus berpegang pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi harus berpegang pada norma hukum yang paling mendasar. Menurut Kelsen, norma hukum yang paling mendasar (grundnorm) bentuknya tidak konkrit (abstrak).
Dikatakan Guntur, Kelsen tidak hanya terkenal dengan Teori Stufenbau, ia juga menjadi penggagas soal pentingnya menjaga sebuah hukum dasar melalui sebuah lembaga. “Perlu adanya lembaga agar yang namanya konstitusi tidak terciderai. Apa lembaga itu? Menurut Kelsen, lembaga itu adalah Mahkamah Konstitusi,” ujar Guntur yang didampingi Kurniadi, dosen FH Yos Sudarso Surabaya.
Pentingnya Mahkamah Konstitusi, lanjut Guntur, karena tidak menutup kemungkinan dalam perjalanan sebuah bangsa, UUD sebagai kepekatan fundamental dari rakyat dengan pemerintah bisa terciderai oleh terbentuknya UU yang bertentangan dengan konstitusi. “Ketika itulah Mahkamah Konstitusi pertama di dunia terbentuk di Austria pada 1920,” ungkap Guntur.
Namun dari segi kasus, kata Guntur, perjalanan kasus pengujian UU tidak terjadi pertama kali di Austria. Jauh sebelum itu di Amerika Serikat, tepatnya pada 1803, ada sebuah keputusan bersejarah di Amerika Serikat dengan adanya Kasus Marbury vs Madison. “Kasus Marbury vs Madison adalah yang pertama kali saat Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan Judiciary Act Tahun 1789 dipandang bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat. Itu pertama kali dalam sejarah, ada undang-undang bertentangan dengan konstitusi,” jelas Guntur.
Lantas bagaimana dengan sejarah MK di Indonesia? Gagasan perlunya pengujian undang-undang di Indonesia pertama kali muncul di masa perjuangan. Moh. Yamin dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) mengusulkan Balai Agung (Mahkamah Agung) perlu diberi wewenang untuk membanding (menguji) undang-undang. Namun Soepomo tidak setuju karena UUD yang disusun tidak menganut sistem trias politica. Selain itu pada masa itu belum banyak sarjana hukum yang memiliki pengalaman membanding UU.
Bertahun-tahun kemudian, pasca reformasi, terjadi amandemen UUD 1945. Soal pengujian UU kembali diusulkan, hingga dibentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada 13 Agustus 2003. Terkait pengujian UU disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Disinggungnya Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pasal tersebut, dipertegas lagi pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” Sedangkan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.” (Nano Tresna Arfana)
Source: Laman Mahkamah Konstitusi