Prioritas Pengelolaan Tambang ke Ormas Dipertanyakan

JAKARTA, HUMAS MKRI – Seorang advokat sekaligus dosen, Rega Felix, mengajukan pengujian materiil Pasal I angka 4 yang memuat perubahan Pasal 6 ayat (1) huruf j dan Pasal I angka 26 yang memuat perubahan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana Perkara Nomor 77/PUU-XXII/2024 yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih bersama dengan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Arsul Sani ini dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno MK pada Rabu (24/7/2024).

Rega yang hadir langsung di persidangan mengatakan bahwa kebijakan penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) secara prioritas kepada ormas keagamaan tidak memenuhi parameter untuk dapat diterapkan sebagai kebijakan afirmatif berdasarkan UUD 1945. Sejatinya Pemerintah masih dapat melaksanakan penawaran secara prioritas sepanjang tidak menggunakan pertimbangan berdasaran suku, agama, ras, dan antargolongan. Jika prioritas tersebut diberikan berdasarkan pertimbangan tersebut, maka telah jelas bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Karena makna “prioritas” dalam norma pasal yang diuji tidak jelas batasannya dan dapat menciptakan self-reference norm kepada presiden.

“Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi sebagai the sole interpreter of the constitution berdasarkan penalaran yang wajar telah memiliki alasan hukum untuk menyatakan bahwa Pasal I angka 4 yang memuat perubahan Pasal 6 ayat (1) huruf j dan Pasal I angka 26 yang memuat perubahan Pasal 35 ayat (1) UU Minerba bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tanpa didasari kepada pertimbangan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan,” sampai Rega.

Lebih lanjut Pemohon menyatakan bahwa dirinya juga memiliki hak konstitusional untuk diperlakukan setara meskipun bukan anggota ormas keagamaan. Di satu sisi, Pemohon sebagai dosen sekaligus advokat memiliki tanggung jawab moral untuk mengadvokasi permasalahan ini ke MK agar ditemukan solusi demi kebaikan bersama. Pemohon menyadari permasalahan ini kompleks dan abu-abu, dengan kata lain ada sisi baiknya namun menyimpan bahaya tersembunyi juga. Pemohon khawatir jika bukan di MK persoalan ini menjadi malapetaka sosial dan terjadi bias akademis. Pemohon harus akui secara jujur dalam kondisi bagaimanapun, saat ini forum yang “paling” memungkinkan diskursus akademis terbuka adalah MK. Oleh karena itu, Pemohon memohon Pasal 54 UU MK dilaksanakan karena MK adalah the guardian of human rights bukan the guardian of the ruler.

Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan frasa “melaksanakan penawaran WIUPK secara priotitas” dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf j sebagaimana telah dirubah berdasarkan Pasal I angka 4 UU Minerba bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas tanpa didasari kepada pertimbangan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan”. Kemudian meminta klausul “Usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat” dalam Pasal 35 Ayat (1) sebagaimana telah dirubah berdasarkan Pasal I angka 26 UU Minerba bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat tanpa didasari kepada pertimbangan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan”.

 

Persoalan dengan Norma

Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dalam nasihat Majelis Sidang Panel memberikan catatan tentang uraian petitum yang dicantumkan Pemohon. Guntur menyarankan petitum dibuat sebagaimana standar bunyi petitum yang terdapat pada sebuah permohonan yang diajukan ke MK. Guntur juga menasihati Pemohon agar konsisten dalam penggunaan istilah hukum berbahasa asing, seperti self-reference norm.

“Permohonan ini sangat menarik sekali, namun ada beberapa inkonsistensi yang dalam konteksnya bisa mengubah makna hukumnya, sehingga diharapkan lebih konsisten dalam penggunaan istilah hukum yang berbahasa asing/inggris,” sampai Guntur.

Sementara Hakim Konstitusi Arsul memberikan catatan mengenai kerugian konstitusional yang didalilkan Pemohon terhadap definisi diskriminasi yang diberikan kepada ormas keagamaan. “Ini kan diberikan pada semua ormas agama, apakah ada yang terdiskriminasi karena ini ditawarkan. Ada yang menerima dan ada yang tidak, dan ini dihormati posisinya masing-masing. Kalau posisi begini, di mana diskriminasinya? Ini harus lebih dijelaskan yang implisit sebagaimana dikatakan Pemohon,” jelas Arsul.

Selanjutnya Hakim Konstitusi Enny mencermati permohonan Pemohon yang masih perlu disempurnakan bagian pengujian dari Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 yang dinilai berkelindan dengan isi-isi pasal berikutnya. “Apakah benar ada persoalan konstitusionalitasnya dari norma ini? Karena ini berkaitan dengan kedudukan hukum Pemohon yang tidak terlihat pada pengujian norma-norma ini,” terang Enny.

Pada akhir persidangan, Hakim Konstitusi Enny menyebutkan Pemohon dapat menyempurnakan permohonan hingga 14 hari ke depan. Naskah perbaikan tersebut dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Selasa, 6 Agustus 2024 pukul 13.00 WIB ke Kepaniteraan MK. Sehingga untuk selanjutnya Mahkamah akan mengagendakan sidang kedua dengan agenda menyampaikan dan mendengarkan pokok-pokok perbaikan yang dilakukan Pemohon.

 

Penulis: Sri Pujianti

Editor: N. Rosi

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi