Pemohon Ungkap Kerugian Konstitusional Akibat Berlakunya Ketentuan Syarat Perolehan STR Tenaga Kesehatan

JAKARTA, HUMAS MKRI – Para Pemohon yang menguji Pasal 212 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) memperbaiki permohonan dan dibacakan dalam persidangan pada Senin (15/7/2024) di Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang dengan agenda perbaikan permohonan ini untuk memeriksa dua perkara sekaligus yakni Perkara Nomor 49/PUU-XXII/2024 dan Perkara Nomor 50/PUU-XXII/2024. Persidangan dipimpin Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.

Para Pemohon Perkara Nomor 49/PUU-XXII/2024 memperbaiki kerugian konstitusionalnya. Kuasa Pemohon, Kurnia Nurfitrah memaparkan masing-masing kerugian konstitusional para Pemohon. Shafa Syahrani (Pemohon I) disebut mengalami kerugian aktual karena setelah lulus dari Program Studi Gizi Universitas Negeri Makassar pada 2023, Pemohon I tidak bisa melaksanakan ujian kompetensi (ukom) sehingga tidak dapat memperoleh Surat Tanda Registrasi (STR) dan belum dapat berpraktik profesi.

“Pasal 212 ayat (2) yang secara tiba-tiba membuat Pemohon I mengalami kerugian aktual. Pemohon I tidak bisa mengikuti ukom padahal telah dipersiapkan sebelumnya,” ujar Kurnia yang hadir secara daring.

Kemudian, Satria Prima Arsawinata (Pemohon II). Mahasiswa semester VIII Program Studi Gizi Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Kesehatan Universitas Negeri Makassar ini mengalami kerugian potensial karena adanya kewajiban melaksanakan pendidikan profesi yang memberatkan secara finansial sehingga memperkecil peluang berpraktik profesi sebagai tenaga kesehatan.

Lalu, Bunga Nanda Puspita (Pemohon III) sebagai lulusan Progra Studi Gizi Fakultas Kesehatan Universitas Mitra Indonesia pada 2019 silam disebut mengalami kerugian spesifik dan aktual. Pemohon III telah melaksanakan ukom tetapi sia-sia karena pada akhirnya STR tidak dapat diterbitkan karena adanya kewajiban melaksanakan pendidikan profesi sebelum mendapatkan STR.

Menurut para Pemohon, perubahan undang-undang tersebut mencederai segala bentuk tujuan kehidupan yang telah dipersiapkan oleh para mahasiswa program sarjana tenaga kesehatan karena harus menempuh jalur pendidikan profesi kembali. Mereka yang telah melaksanakan ukom dan telah dinyatakan lulus serta sedang menunggu penerbitan STR pun dirugikan. Akibat berlakunya Pasal 212 ayat (2) UU Kesehatan itu, mereka yang telah lulus ukom tersebut tiba-tiba tidak diterbitkan STR-nya dan untuk memperoleh STR wajib menyelesaikan pendidikan profesi. Padahal bila konsisten pada penjabaran Pasal 260 UU Kesehatan, seharusnya STR tetap diterbitkan.

Terlepas daripada hal tersebut, esensi dari permohonan ini pada dasarnya adalah mempermasalahkan kewajiban menyelesaikan pendidikan profesi bagi mahasiswa lulusan sarjana tenaga kesehatan untuk berpraktik sebagai tenaga kesehatan. Secara spesifik, Para Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 212 ayat (2) UU Kesehatan tersebut secara tiba-tiba tanpa ketentuan peralihan yang seharusnya membuka ruang bagi mahasiswa yang terdaftar sebagai mahasiswa pendidikan tenaga kesehatan sebelum berlakunya pasal tersebut untuk tetap dapat berpraktik tanpa kewajiban menyelesaikan pendidikan profesi dan mendapatkan sertifikat profesi.

Karena itu, dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk mengecualikan ketentuan Pasal 212 ayat (2) UU Kesehatan bagi mahasiswa yang terdaftar sebagai mahasiswa program sarjana tenaga kesehatan sebelum berlakunya pasal a quo (8 Agustus 2023). Kekhususan bagi mahasiswa yang terdaftar sebelum berlakunya pasal tersebut karena merasakan dampak secara tiba-tiba dan tidak ada persiapan. Sedangkan, bagi mahasiswa program sarjana Tenaga Kesehatan yang terdaftar setelah berlakunya UU Kesehatan seharusnya telah mengetahui atau dianggap mengetahui (fictie hukum) konsekuensi pilihan dan alur untuk mendapatkan STR serta melakukan praktik profesi.

 

Kerugian Konstitusional Ahli Khitan

Pada kesempatan yang sama, Pemohon Perkara Nomor 50/PUU-XXII/2024, Iwan Hari Rusawan di hadapan Majelis Hakim mengaku telah berpengalaman melaksanakan khitan atau sunat selama lebih dari 15 tahun baik kepada laki-laki maupun perempuan. Pasal 210 UU Kesehatan yang menegaskan tenaga medis atau tenaga kesehatan harus lulusan perguruan tinggi merugikan hak konstitusional Pemohon.

“Berdasarkan klasifikasi yang diterbitkan oleh badan-badan internasional, tidak semua tenaga kesehatan harus lulusan formal perguruan tinggi,” kata Iwan.

Karena tidak memiliki kesempatan membuktikan dan mencatatkan kemampuan dalam uji kompetensi sehingga tidak dapat mengajukan STR, maka Iwan tidak diakui sebagai tenaga kesehatan. Akibat tidak dapat mempunyai STR, Pemohon tidak dapat mengajukan izin praktik yang dibutuhkan untuk menjalankan kepercayaan berbasis agama demi mencari nafkah, misalnya membuka balai sunat.

Dalam petitumnya, Iwan memohon kepada mahkamah agar ketentuan Pasal 210 ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan mengecualikan tenaga medis dan tenaga kesehatan berbasis kebudayaan, kearifan lokal, dan agama yang telah memperoleh pengakuan dari masyarakat Indonesia sejak sebelum adanya perguruan tinggi di Indonesia.


Baca juga:

Menguji Syarat Perolehan Surat Tanda Registrasi Tenaga Kesehatan


Penulis: Mimi Kartika.

Editor: N. Rosi.

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi