Terima Ancaman Akibat Laporkan Dugaan Korupsi, Warga Uji UU Tipikor dan UU LPSK
JAKARTA, HUMAS MKRI – Seorang warga bernama La Hasidi mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ke Mahkamah Konstitusi (MK). La Hasidi mengaku telah melaporkan dugaan korupsi pembangunan pabrik jagung ilegal Kabupaten Muna kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Tinggi, tetapi justru menerima ancaman pembunuhan, penculikan, intimidasi, tekanan sosial, upaya kriminalisasi, dan lingkungan yang tidak aman.
“Karena sampai pada saat ini saya belum mendapatkan perlindungan dari negara,” ujar La Hasidi selaku Pemohon Permohonan Nomor 232/PUU-XXIII/2025 dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Rabu (3/12/2025) di Ruang Sidang MK, Jakarta.
Pasal 41 ayat (1) UU Tipikor berbunyi, “Masyarakat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan cara mencari informasi, data, dan melaporkan tindak pidana korupsi. Kemudian Pasal 5 ayat (1) UU LPSK berbunyi: LPSK memberikan perlindungan kepada saksi dan/atau korban atas permintaan yang bersangkutan”.
Pemohon mengatakan UU Tipikor mendorong masyarakat melapor tetapi tidak mengatur perlindungannya. Aturan turunannya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 hanya mengatur tata cara pelaporan dan penghargaan tanpa perlindungan. Sementara UU LPSK memberi perlindungan setelah verifikasi administratif, tidak bersifat segera, sehingga terdapat kekosongan hukum mengenai perlindungan cepat, darurat, preventif, dan proporsional bagi pelapor korupsi.
“Saya mengajukan permohonan di MK ini agar ke depannya celah hukum yang masih kosong di mana perlindungan bagi pelapor korupsi sampai saat ini belum,” kata La Hasidi.
Dalam petitumnya Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 5 ayat (1) UU LPSK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai: Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) wajib memberikan perlindungan hukum secara langsung, segera, dan efektif sejak adanya ancaman nyata terhadap saksi, korban, maupun pelapor tindak pidana, tanpa menunggu selesainya proses verifikasi administratif.
Pemohon juga memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 41 ayat (1) UU Tipikor bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: Negara wajib memberikan perlindungan hukum preventif terhadap setiap warga masyarakat sejak tahap pencarian data, pengumpulan informasi dan pelaporan, dugaan tindak pidana korupsi, sebagai bagian dari peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Permohonan ini disidangkan Majelis Panel Hakim yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah. Dalam sesi penasehatannya, Daniel mengatakan Pemohon perlu memperbaiki permohonan sebagaimana ketentuan yang diatur Peraturan MK Nomor 7 Tahun 2025 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
“Ini perbaikannya cukup banyak ini Pak La Hasidi supaya nanti bisa disesuaikan supaya bisa meyakinkan hakim dalam permohonan ini,” tutur Daniel.
Kemudian, Guntur menyoroti belum adanya uraian argumentasi terkait pertentangan antara pasal-pasal yang diuji dengan pasal dalam UUD NRI 1945 yang dijadikan sebagai batu uji atau dasar pengujian permohonan ini. Argumentasi pertentangan pasal yang diuji dengan dasar pengujian juga harus dijelaskan hubungan sebab akibat dengan kerugian hak konstitusional Pemohon.
“Ketika Saudara mencantumkan UUD sebagai dasar pengujian atau batu uji, Saudara harus betul-betul bisa mengkonteskan, bisa menunjukkan di mana letak pertentangannya, tidak hanya mencantumkan pasal ini, pasal ini, tapi tidak ada analisa, tidak ada kajian yang menyatakan bahwa itu bertentangan, kalau tidak ada begitu jatuhnya kabur permohonan Saudara,” tutur Guntur.
Sebelum menutup persidangan, Suhartoyo menuturkan Pemohon dapat memperbaiki permohonan dalam waktu 14 hari. Berkas perbaikan permohonan baik softcopy maupun hardcopy harus diterima Mahkamah paling lambat pada Selasa, 16 Desember 2025 pukul 12.00 WIB.(*)
Jelajahi Jejak: Permohonan Nomor 232/PUU-XXIII/2025
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina
Source: Laman Mahkamah Konstitusi
