Meminta Putusan MK Soal Batas Usia Pensiun Notaris Bersifat Retroaktif
JAKARTA, HUMAS MKRI – Batas usia pensiun notaris yang sudah diputus Mahkamah Konstitusi (MK) kembali diuji. Sidang perdana uji materiil Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UU Notaris) digelar pada Jumat (10/10/2025) di Ruang Sidang Pleno MK.
Perkara Nomor 179/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh dua notaris, yaitu Zainun Ahmadi dan Abu Bakar. Keduanya merupakan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai notaris dan mengajukan permohonan ini karena merasa hak konstitusionalnya dirugikan akibat keterlambatan pembacaan Putusan MK Nomor 84/PUU-XXII/2024.
Dalam perkara sebelumnya, MK telah menetapkan bahwa usia pensiun notaris dapat diperpanjang setiap tahun setelah mencapai usia 67 tahun hingga maksimal 70 tahun, selama notaris yang bersangkutan masih sehat jasmani dan rohani. Namun, menurut para Pemohon, keterlambatan pembacaan putusan tersebut membuat mereka kehilangan kesempatan untuk memperpanjang masa jabatan karena telah mencapai usia 67 tahun sebelum putusan dibacakan pada 3 Januari 2025.
Sidang pemeriksaan perkara ini dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah. Dalam sidang tersebut, Abu Bakar yang hadir tanpa kuasa hukum menjelaskan bahwa tujuan permohonan uji materiil ini agar MK menyatakan Putusan Nomor 84/PUU-XXII/2024 berlaku sejak tanggal pendaftaran permohonan, yakni 19 Maret 2024, bukan sejak putusan dibacakan.
Menurut Pemohon, sejumlah Putusan MK sebelumnya menunjukkan bahwa putusan dapat berlaku surut (retroaktif), seperti dalam Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait status anak luar kawin, Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 tentang perjanjian perkawinan, serta Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 yang mengubah masa jabatan Komisioner KPK dari empat tahun menjadi lima tahun.
Para pemohon juga menilai adanya perlakuan diskriminatif karena jangka waktu penyelesaian perkara mereka jauh lebih lama dibandingkan perkara lain. Misalnya, Putusan Nomor 170/PUU-XXII/2024 hanya memerlukan waktu 28 hari sejak pendaftaran hingga putusan, sedangkan perkara mereka memakan waktu sekitar sembilan bulan.
“Lambatnya pembacaan putusan kami dibandingkan dengan perkara lain menunjukkan adanya perlakuan yang tidak adil dan bertentangan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum,” ujar Abu Bakar dalam sidang.
Selain itu, para pemohon menilai bahwa lamanya proses pemeriksaan perkara mereka bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Mereka berharap MK dapat mengabulkan permohonan dan memulihkan hak konstitusional mereka untuk memperpanjang masa jabatan hingga usia 70 tahun.
Untuk itu, dalam petitumnya, Mahkamah menyatakan makna baru norma Pasal 8 ayat (2) UU Jabatan Notaris bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. “Sepanjang tidak dimaknai “ Ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diperpanjang sampai berumur 67 tahun dengan mempertimbangkan kesehatan yang bersangkutan, dan dapat diperpanjang kembali setiap tahun sampai berumur 70 tahun dengan mempertimbangkan kesehatan yang bersangkutan berdasarkan hasil pemeriksaan dokter yang dilakukan secara berkala setiap tahun pada rumah sakit umum pemerintah pusat, rumah sakit umum daerah, atau rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri yang menangani urusan di bidang hukum’ mempunyai kekuatan hukum berlaku mengikat umum secara bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang tidak dimaknai bahwa makna baru norma Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris mulai berlaku mengikat umum sejak tanggal 19 Maret 2024,” urai Zainun.
Menanggapi permohonan para Pemohon tersebut, Panel Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memberikan saran perbaikan. Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyarankan agar Pemohon memperbaiki sistematika permohonannya sesuai dengan PMK Nomor 7 Tahun 2025. “Pesan saya ini lebih kepada constitutional complaint karena ini mengkritik putusan MK,” ujar Daniel.
Daniel menekankan bahwa Putusan MK itu selalu bersifat prospektif. Ia bisa memahami sudut pandang Pemohon yang merasa menjadi korban karena putusan MK. “Kadang memang Pemohon tidak menikmati putusan dari permohonannya. Karena pengujian undang-undang berbeda dengan sengketa perselisihan hasil Pemilu yang waktunya sudah ditentukan,” jelasnya.
Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Adapun perbaikan permohonan paling lambat diterima MK pada Kamis, 23 Oktober 2025.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi
