Perkuat Dalil Inkonstitusionalitas Ketentuan Pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri

JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang kedua dari uji materiil Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) pada Rabu (8/10/2025). Windu Wijaya perseorangan warga negara menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonan Perkara Nomor 167/PUU-XXIII/2015. Disebutkan bahwa pasal yang diujikan tersebut tidak menjelaskan secara substansif persetujuan dan kriteria serta alasan yang menjadi dasar bagi DPR dalam memberikan persetujuan/penolakan terhadap calon Kapolri yang diusulkan oleh Presiden.

Lebih jelas Windu menjabarkan bahwa dalam pelaksanaan kewenagan DPR untuk memberikan persetujuan diatur dalam Peraturan DPR Nomor 1/2020, namun pada norma tersebut hanya mengatur mekanisme teknis dan prosedural, sepeti penjadwalan, penelitian, administrasi, penyampaian visi, dan pelkasanaan uji kelayakan tanpa memberikan parameter hukum yang jelas dan objektif terkait alasan yang dapat digunakan DPR dalam memberikan persetujuan. Akibatnya persetujuan berjalan formalistik tanpa kewajiban memberikan alasan yang objektif, transparan, dan akuntabel. Ketiadaan alasan ini, sambung Windu, dalam mekanisme persetujan DPR menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Pemohon karena keputusan dapat diambil berdasarkan pertimbangan subjektif, bukan atas dasar kriteria yang dapat diuji secara rasional.

“Kondisi ini telah menimbulkan kerugian konstitusional sebagai warga negara yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Maka berlakunya frasa ‘Persetujuan DPR’ dalam pasal a quo telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945,” tegas Windu dalam Sidang Panel yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo bersama dengan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.


Baca juga:
Ketentuan Pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri Kembali Diujikan ke MK


Sebelumnya, dalam Sidang Pendahuluan yang digelar pada Kamis (25/9/2025) lalu, Pemohon menyebutkan terhadap persetujuan DPR dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri yang diusulkan oleh Presiden ini, Mahkamah Konsitutusi telah memberikan pertimbangan dalam putusan Nomor 22/PUU-XII/2015. Meski demikian, Pemohon mencermati dalam pengangkatan Kapolri oleh Presiden yang ada dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan (2) dan Penjelasannya, hanya menyebut "dengan persetujuan DPR" tanpa merinci syarat, kriteria, atau alasan pengangkatan. Akibatnya, terjadi ketidakjelasan norma yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam praktik ketatanegaraan.

Frasa ‘persetujuan DPR’ dalam norma a quo tidak memberikan batasan yang jelas apakah persetujuan tersebut bersifat administratif untuk memastikan terpenuhinya syarat sebagaimana ditentukan Pasal 11 ayat (6) UU Polri. Ataukah persetujuan tersebut juga berhubungan dengan keadaan kesehatan jasmani dan rohani calon Kapolri dan/atau status hukum calon Kapolri atau digunakan sebagai instrumen politik, yang justru dapat menghambat hak prerogatif Presiden dalam mengangkat Kapolri.

Di samping itu, ketentuan ini menimbulkan kerugian konstitusional Pemohon, karena tidak adanya alasan hukum yang jelas mengenai dasar persetujuan atau penolakan DPR terhadap pengangkatan Kapolri. Sehingga kewenangan Presiden dalam mengangkat Kapolri menjadi sepenuhnya bergantung pada persetujuan DPR tanpa kepastian hukum mengenai parameter atau alasan-alasan hukum yang dapat dijadikan dasar untuk menyetujui atau menolak pengangkatan Kapolri yang diusulkan oleh Presiden RI.

Dalam hal pengangkatan, norma tersebut menurut Pemohon tidak mengatur lebih lanjut mengenai kualifikasi minimum calon Kapolri (misalnya pangkat, masa dinas, prestasi); alasan atau dasar pengajuan nama calon; mekanisme penentuan jika terdapat lebih dari satu calon; dan prosedur apabila DPR menolak calon yang diajukan. (*)

Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.

Source: Laman Mahkamah Konstitusi