Advokat Pertegas Petitum Permohonan Soal Perbedaan Hak Imunitas Jaksa dalam UU Kejaksaan

JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan dari permohonan Harmoko dan Juanda yang menguji materiil Pasal 8 ayat (5) UU Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada Senin (2/6/2025). Sidang Perkara Nomor 67/PUU-XXIII/2025 yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan dua hakim anggota yakni Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah ini beragendakan mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan para Pemohon.

Harmoko menyebutkan halaman-halaman permohonan yang mengalami perubahan, termasuk pula bagian petitum yang telah diubah sebagaimana perbaikan permohonannya. “Para Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 8 ayat (5) UU Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia bertentang dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap Jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung paling lambat dalam waktu 30 hari sejak permohonan izin diterima’,” ucap Harmoko membacakan perubahan petitum permohonan para Pemohon.


Baca juga: Advokat Persoalkan Ketimpangan Hak Imunitas Jaksa dengan Penegak Hukum Lainnya dalam UU Kejaksaan


Pada Sidang Pendahuluan yang digelar pada Jumat (16/5/2025) silam, para Pemohon mengatakan berlakunya ketentuan Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan ini memberikan hak imunitas bagi jaksa. Artinya, apabila jaksa melakukan tindak pidana dalam menjalankan tugas dan wewenanganya, maka hanya dapat dilakukan pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan atas izin Jaksa Agung. Hal ini menurut pandangan para Pemohon memberikan perlakukan yang berbeda dengan para penegak hukum lainnya, seperti hakim, polisi, dan advokat. Bahkan norma ini dinilai tidak memberikan pengecualian mengenai kualifikasi dan jenis tindak pidana yang dilakukan jaksa.

Sementara advokat sekalipun memiliki hak imunitas sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU Advokat yang kemudian dipertegas oleh Putusan MK Nomor 26/PUU-XI/2013, namun ketika advokat dalam menjalankan tugas profesi tidak berdasarkan pada itikad baik dan melanggar peraturan perundang-undangan maka tetap harus diperiksa, dan ditahan tanpa ada izin tertulis dari pimpinan organisasi advokat maupun dari pihak tertentu. Dengan adanya perbedaan perlakukan antara jaksa dengan penegak hukum lainya, sementara Indonesia telah mengakui prinsip equality before the law dalam UUD 1945, maka ketentuan dalam Pasal 8 ayat 5 UU Kejaksaan secara jelas bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi asas equality before the law sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Kemudian para Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 8 ayat (5) UU Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia bertentang dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap Jaksa hanya dapat dilakukan atas persetujuan tertulis dari Presiden dan apabila persetujuan tertulis dimaksud tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan maka proses penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan dapat langsung dilakukan”.(*)

Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi