Menyoal Konstitusionalitas Kewenangan Notaris Membuat Akta Pertanahan

JAKARTA, HUMAS MKRI - Anisitus Amanat yang berprofesi sebagai notaris mengajukan pengujian tiga undang-undang sekaligus, yakni Pasal 15 ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UU Jabatan Notaris); Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UU Hak Tanggungan); dan Pasal 44 ayat (1) dan penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun (UU Rusun) ke Mahkamah Konstitusi. Sidang Pendahuluan Perkara Nomor 72/PUU-XXIII/2025 yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo bersama dengan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah sebagai hakim anggota Sidang Panel dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.
Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Jabatan Notaris menyatakan, “Notaris berwenang: f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan”. Dalam pandangan Pemohon, dari norma ini bermakna bahwa notaris mempunyai hak dan kewajiban untuk membuat semua jenis akta yang berkaitan dengan pertanahan, sepanjang UU Jabatan Notaris atau UU sektoral lain tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Namun kewenangan demikian tidak dapat dilaksanakan karena pemerintah/negara lebih mengutamakan PPAT untuk melaksanakannya. Padahal legal standing PPAT untuk kewenangan tersebut hanya didasarkan pada peraturan pemerintah dan tidak berdasarkan undang-undang.
Sementara berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU Rusun, yang pada intinya proses jual beli Satuan Rumah Susun (sarusun) sebelum dibangun dapat dilakukan melalui Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat di hadapan Notaris. Kemudian sesuai Pasal 44 ayat (1) dan penjelasannya disebutkan proses jual beli sarusun setelah selesai dibangun dilakukan melalui akta jual beli yang dibuat dihadapan Notaris PPAT yakni notaris yang merangkap PPAT yang diatur dalam PP 37/1998 jo PP 24/2016. Dalam cermatan Pemohon, tidak terdapat peraturan lain yang mendasari eksistensi jabatan PPAT dalam khasanah hukum di Indonesia selain kedua PP tersebut. Dengan diberinya kewenangan tersebut kepada PPAT, menurut Pemohon berarti negara atau pemerintah menghalangi Notaris untuk melaksanakan hak dan kewajiban konstitusional untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. Dengan kata lain, negara atau pemerintah tidak mengakui hak notaris untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.
“Adanya PPAT sementara dan khusus yang tugasnya membuat akta pertanahan, menurut Pemohon merupakan norma hukum, peraturan pemerintah yang merupakan materi yang sudah diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Jabatan Notaris. Selama ini, norma hukum tersebut tidak dapat dilaksanakan secara murni dan konsekuen oleh notaris Indonesia sebagai akibat dari norma hukum yang tidak jelas dan tidak pasti mengatur mengenai apa saja jenis-jenis dari akta yang berkaitan dengan pertanahan tersebut. Sehingga tujuan yang ingin dicapai Pemohon melalui permohonan ini agar norma pasal a quo dirumuskan secara kian jelas dan pasti secara hukum serta mudah dipahami dan dilaksanakan notaris di seluruh Indonesia,” jelas Anisitus.
Landasan Pengujian
Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dalam nasihat hakim mengatakan agar Pemohon membuat permohonan lebih sedernaha meski mengujikan tiga undang-undang sekaligus dalam satu permohonan. “Selain itu, Pemohon juga diminta memperjelas batu uji berupa Pasal 28 UU NRI 1945 yang dijadikan landasan pengujian seluruh pasal yang ada atau beberapa pasal terkait dengan kerugian konstitusional yang dialami Pemohon,” jelas Daniel.
Kemudian Hakim Konstitusi Guntur Hamzah menyebutkan perlu bagi Pemohon dalam menguraikan alasan permohonan secara konsisten. “Selain itu , pada bagian petitum dan uraiannya tolong diperiksa Pasal 51 ayat (3) dan ayat (4) UUMK karena berkaitan dengan bagaimana merumuskan petitum yang baik,” terang Guntur.
Sementara Ketua MK Suhartoyo menyatakan sebagai pihak yang sedang tidak aktif sebagai notaris dan PPAT, perlu memperkuat legal standing dengan menguraikan keterkaitannya dengan keberlakukan norma yang diujikan ini. “Ini menguji kewenangan PPAT, apa rujukan teorinya jadi harus diperjelas dengan perbedaanya dengan jabatan notaris yang juga dapat membuat akta tanah,” saran Suhartoyo.
Usai memberikan nasihat Hakim Panel, Ketua Panel Suhartoyo menyebutkan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonannya. Kemudian naskah perbaikan dapat diberikan selambat-lambatnya pada Selasa, 3 Juni 2025 ke Kepaniteraan MK. Selanjutnya Mahkamah akan menjadwalkan sidang kedua dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan Pemohon. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina
Source: Laman Mahkamah Konstitusi