Ahli Pemerintah Ungkap Alasan Dana Pensiun Diserahkan Berkala

JAKARTA, HUMAS MKRI – Tujuan utama pembayaran manfaat pensiun dilakukan secara berkala, yakni guna memastikan kesinambungan penghasilan agar kesejahteraan peserta tetap terjamin selama hidupnya. Ketika masih aktif bekerja, peserta menerima penghasilan berupa gaji atau upah, sementara setelah tidak bekerja lagi ia akan menerima penghasilan berupa manfaat pensiun.
Demikian keterangan Steven Tanner yang menjadi Ahli Presiden/Pemerintah dalam sidang lanjutan dari uji materill Pasal 161 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) pada Rabu (21/5/2025). Sidang Perkara Nomor 152/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Freddy TH Sinurat bersama sejumlah 15 Pemohon yang berprofesi sebagai karyawan swasta ini dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dan Wakil Ketua MK Saldi Isra beserta tujuh hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.
Dijelaskan Steven bahwa kesejahteraan hidup pada hari tua setelah tidak bekerja lagi dapat diukur dengan suatu besaran yang disebut tingkat penghasilan pensiun (TPP), yakni perbandingan antara penghasilan selama masa pensiun dengan penghasilan terakhir sesaat sebelum pensiun. TPP yang dianggap memadai untuk mempertahankan kualitas hidup yang sama, sebelum dan setelah pensiun menurut para ahli berkisar antara 70% sampai 80% dari penghasilan terakhir seseorang sesaat sebelum pensiun. Adapun sumber penghasilan setelah pensiun tersebut diperoleh di antaranya dari program yang sifatnya wajib dan sukarela. Di Indonesia, sambung Steven, program yang sifatnya wajib berasal dari Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), serta imbalan kerja berupa uang pesangon sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
Diakui Steven bahwa di Indonesia kepesertaan pada sistem pensiun sangat rendah bahkan tidak sampai 16% dari angkatan kerja. Sementara kondisi demografi yang diproyeksikan, maka perlindungan hari tua bagi para lansia di Indonesia menjadi terancam karena ketiadaaan penghasilan yang memadai setelah tidak bekerja lagi. Oleh karenanya, Pemerintah terus berupaya menyadarkan masyarakat agar memiliki program pensiun. Salah satunya dengan pemberian insentif perpajakan kepada program yang sifatnya sukarela, yang diselenggarakan melalui lembaga dana pensiun, baik itu Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) maupun Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Program ini diharapkan dapat berperan untuk melengkapi atau menambah manfaat dari program yang sifatnya wajib. Konsekuensinya berupa pengaturan ketat bahwa dana pensiun tidak dapat diambil sebelum mencapai usia pensiun. Selain itu, ada pembatasan penarikan secara sekaligus dari manfaat pensiun tersebut. Pembatasan ini dilakukan dengan memperhatikan tujuan utama suatu sistem pensiun, yakni memastikan terwujudnya kesinambungan penghasilan agar kesejahteraan seseorang tetap terjamin selama hidupnya.
“Hal inilah yang menjadi dasar dan alasan utama Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (UU 11/1992) dan UU P2SK mengatur pembayaran manfaat pensiun dalam kondisi normal harus dilakukan secara berkala. Sementara dalam kondisi tertentu, kedua undang-undang tersebut tetap memungkinkan peserta menerima manfaat pensiunnya secara sekaligus,” terang Steven.
Alasan Penyerahan Berkala
Terhadap keterangan ahli ini, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menanyakan terkait manfaat dana pensiun yang disebutkan tergolong rendah. “Mengapa ketika dibayarkan harus diberikan berkala oleh ketentuan ini, sebetulnya apa motifnya?” tanya Hakim Konstitusi M. Guntur.
Sementara Hakim Konstitusi Arsul Sani menanyakan, “Hak seorang dari dana pensiun apakah dapat dijadikan jaminan untuk pinjaman?,” tanya Hakim Konstitusi Arsul.
Kemudian Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengajukan pertanyaan, “Apakah ada kemungkinan investasi dari dana pensiun itu mengalami kerugian? Bagaimana mengatasi atau mengantisipasi hal tersebut?” tanya Hakim Konstitusi Enny.
Menjawab pertanyaan tersebut, Steven menyebut dana pensiun yang diserahkan secara berkala hanya boleh digunakan dalam bentuk deposito. “Dana yang digunakan untuk membayar berharga itu hanya boleh ditempatkan deposito, surat berharga negara. Saham termasuk yang dilarang,” ucapnya.
Sebagai sidang terakhir, Ketua MK Suhartoyo menyebutkan bahwa untuk keterangan dari Ototitas Jasa Keuangan dapat diserahkan secara tertulis, baik berupa keterangan ahli dan/atau saksi. Keterangan yang diberikan nantinya akan sangat bermanfaat bagi para hakim konsitusi dalam memberikan pandangan atas perkara yang dimohonkan para Pemohon ini.
Baca juga:
Aturan Pembayaran Manfaat Pensiun Secara Berkala Dinilai Rugikan Sejumlah Karyawan Swasta
Pemohon Uji Aturan Pembayaran Pensiun Berkala UU P2SK Tambah Pasal yang Diuji
Pemerintah: Pembayaran Manfaat Pensiun Berkala Bantu Pengelolaan Risiko Keuangan Peserta
Pada Sidang Pendahuluan, Pemohon menyatakan Pasal 161 ayat (2) UU PPSK yang menyatakan “Pembayaran manfaat pensiun bagi peserta, janda/duda, atau anak harus dilakukan secara berkala” bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI 1945. Menurut Pemohon, frasa “harus dilakukan secara berkala” merupakan suatu bentuk pemaksaan dan kesewenang-wenangan dalam pengambilalihan hak milik pribadi para Pemohon berupa manfaat pensiun. Dalam pandangan para Pemohon, kata “harus” bermakna tidak memberikan pilihan.
Sementara hal yang bersifat diharuskan tersebut adalah hak milik pribadi para Pemohon, yang berasal dari iuran pemberi kerja dan iuran para Pemohon melalui pemotongan gaji setiap bulan. Sehingga ketentuan yang termuat pada norma telah merampas hak para Pemohon untuk memilih dan menentukan cara pembayaran manfaat pensiun. Di samping itu, hal tersebut juga menghilangkan hak dan kesempatan para Pemohon untuk memanfaatkan hak manfaat pensiun tersebut sesuai dengan rencana, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan pribadi para Pemohon dan keluarga.
Dalam petitum perbaikannya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 161 ayat (2) UU P2SK yang mengatur pembayaran manfaat pensiun sebagai berikut: “Pembayaran Manfaat Pensiun bagi Peserta, Janda/Duda, atau anak harus dilakukan secara berkala” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “dengan terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Peserta, Janda/Duda, atau anak; atau pembayaran manfaat pensiun dilaksanakan sesuai dengan keinginan Peserta, Janda/Duda, atau anak”.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan
Source: Laman Mahkamah Konstitusi