Mahasiswa Minta Kewenangan Hak “Recall” DPR dalam Rekrutmen Pejabat Negara Dibatasi

JAKARTA, HUMAS MKRI – Penafsiran kewenangan untuk memberhentikan atau menarik kembali (recall) pejabat lembaga negara oleh DPR kembali menjadi persoalan yang diujikan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini, Mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Mochamad Adli Wafi dan Muhammad Kevin Setio Haryanto mengajukan uji materiil Pasal 70 ayat (3), Pasal 72 huruf d, dan Pasal 185 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Sidang Pendahuluan Perkara Nomor 47/PUU-XXIII/2025 ini dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo didampingi oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah pada Selasa (6/5/2025).

Adli Wafi menyebutkan berlakunya pasal-pasal tersebut dinilai merugikan hak konstitusional para Pemohon. Pemohon beralasan hak sebagai warga negara terhalang untuk mendapatkan penyelenggaraan kinerja lembaga-lembaga negara yang independen. Dalam hal ini, fungsi pengawasan yang melekat pada DPR dalam proses pengisian jabatan pimpinan lembaga negara tersebut, telah ditafsirkan oleh DPR secara bertentangan dengan UUD NRI 1945, meliputi wewenang untuk memberhentikan atau menarik kembali (recall) pejabat lembaga negara yang bersangkutan.

Para Pemohon menilai guna menjaga amanat reformasi 1998, maka Mahkamah perlu menafsirkan fungsi pengawasan secara ketat agar tetap selaras dengan konsep demokrasi konstitusional. Oleh karena itu, Mahkamah perlu memastikan fungsi pengawasan tersebut tidak memberikan peluang bagi suatu lembaga negara untuk mendominasi lembaga tinggi negara lainnya dengan dalih pengawasan. Dalam pandangan para Pemohon, adanya intervensi DPR terhadap lembaga negara lainnya merupakan bentuk nyata dari pengingkaran terhadap konstruksi kelembagaan pasca-amendemen dan prinsip kedaulatan rakyat. Tindakan ini secara langsung bertentangan dengan sejarah pembentukan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945, yang menegaskan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, bukan dimonopoli oleh satu lembaga negara tertentu.

“Para Pemohon memohon pembatasan tafsir kepada Mahkamah Konstitusi agar fungsi pengawasan yang dimiliki DPR tidak dimaknai mencakup kewenangan untuk memberhentikan atau menarik kembali pejabat lembaga negara yang dalam proses pengisiannya terdapat peran DPR,” jelas Adli Wafi.

Untuk itu, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 secara bersyarat (Inkonstitusional Bersyarat) sepanjang frasa “fungsi pengawasan” dimaknai mencakup kewenangan untuk memberhentikan pejabat lembaga negara yang pengisiannya dilakukan dengan keterlibatan DPR.

Para Pemohon juga meminta agar Pasal 72 huruf d Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dinyatakan bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 secara bersyarat (Inkonstitusional Bersyarat) sepanjang kata “pengawasan” dimaknai mencakup untuk memberhentikan pejabat lembaga negara yang pengisiannya dilakukan dengan keterlibatan DPR.

Berikutnya, Pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 185 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Inkonstitusional Bersyarat) sepanjang tidak dimaknai sebagai pengajuan yang bersifat final dan tidak dapat ditarik kembali setelah penetapan sebagai pejabat. Dengan demikian, ketentuan Pasal 185 ayat (1) dimaknai sebagai berikut “DPR mengajukan calon untuk mengisi suatu jabatan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan melalui rapat paripurna DPR yang bersifat final dan tidak dapat ditarik kembali setelah penetapan sebagai pejabat”.

Kerugian Konstitusional

Dalam nasihat hakim, Hakim Konstitusi Daniel menyebutkan penting bagi para Pemohon menguraikan kerugian potensial dan aktual agar bisa masuk pada pokok permohonan. Kemudian terkait substansi permohonan, para Pemohon dapat memperkuat argumentasi mengenai DPR dan proses rekrutmen terhadap pejabat lembaga negara.
“Ada contoh di negara lain dan doktrin atau pendalat ahli terkait dalil para Pemohon. Setelah perubahan (reformasi) ada check and balances, presiden memiliki kewenangan merancang undang-undang coba berikan negara lain yang serupa polanya dengan negara kita,” jelas Hakim Konstitusi Daniel.

Sementara Hakim Konstitusi Guntur dalam nasihatnya menjabarkan agar para Pemohon menguraikan pasal-pasal yang dijadikan landasan pengujian dengan keterkaitan dengan hak konstitusional yang terlanggar oleh norma yang diujikan. “Dasar pengujian ini harus ada argumentasi bahwa norma yang diuji ini bertentangan, ada persoalan konstitusionalitas norma. Jika tidak ada, maka permohonan ini masuk permohonan yang kabur dan ujungnya nanti NO,” jelas Guntur.

Sebelum mengakhiri persidangan, Ketua MK Suhartoyo mengatakan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonannya. Naskah perbaikan tersebut dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Senin, 19 Mei 2025 kepada Kepaniteraan MK. Selanjutnya akan dijadwalkan sidang dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan para Pemohon. (*)

Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan

Source: Laman Mahkamah Konstitusi