DPR Rapat di Hotel, Advokat Uji UU MD3

JAKARTA, HUMAS MKRI – Advokat Zico Leonard Djagardo Simanjuntak mengajukan permohonan pengujian materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) serta UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon mempersoalkan kontroversi pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang dibahas DPR di hotel mewah, alih-alih di Gedung DPR yang telah juga telah dilengkapi berbagai fasilitas.

“Pemohon merasa sebagai warga negara telah timbul ketidakadilan mengingat gedung DPR telah dilengkapi dengan ruang-ruang rapat yang dibangun dengan dana APBN. Maka, akan tidak adil ketika gedung yang sudah dibangun tersebut justru tidak digunakan sebagaimana mestinya karena DPR lebih menggunakan rapat di hotel apalagi dilakukan di tengah lembaga-lembaga lain yang sedang gencar melakukan efisiensi anggaran,” ujar Putu Surya Permana Putra selaku kuasa hukum Pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 42/PUU-XXIII/2025 pada Senin (5/5/2025) di Ruang Sidang MK, Jakarta.

Dia mengatakan dengan banyaknya fasilitas yang sudah diberikan kepada DPR dan dibangun menggunakan uang rakyat tersebut nyatanya tidak mampu membuat DPR untuk berfokus melaksanakan rapat di gedung DPR yang menjadi rumahnya. Dalam beberapa kasus DPR lebih memilih melaksanakan rapat di hotel-hotel mewah dibandingkan dengan gedung DPR.

Menurut Pemohon, hal tersebut merupakan pemborosan anggaran, sedangkan pemerintah dan lembaga negara lainnya sedang gencar melakukan efisiensi anggaran dalam rangka mengoptimalkan penggunaan keuangan negara. Penggunaan dana negara harus diprioritaskan guna kepentingan yang benar-benar mendesak dan bermanfaat bagi rakyat, bukan untuk hal yang sebenarnya dapat dihemat.

Untuk itu, Pemohon menguji norma Pasal 229 UU MD3 yang berbunyi “Semua rapat di DPR pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.” Pemohon ingin Mahkamah menafsirkan kembali norma tersebut dengan mengatur kewajiban pelaksanaan rapat di gedung DPR. Karena itu dalam petitumnya Pemohon memohon kepada Mahkamah agar Pasal 229 UU MD3 dimaknai menjadi “Semua rapat di DPR wajib dilakukan di Gedung DPR kecuali terdapat keadaan tertentu yang menyebabkan fasilitas di seluruh ruang rapat di gedung DPR tidak dapat digunakan atau berfungsi dengan baik.”

Tak hanya itu, Pemohon juga menguji frasa “fraksi” dalam Pasal 12 dan Pasal 82 UU MD3 serta frasa “tugasnya sebagai wakil rakyat” dalam Pasal 12 ayat (4) UU MD3. Selengkapnya bunyi Pasal 12 UU MD3 adalah “(1) Fraksi merupakan pengelompokan anggota MPR yang mencerminkan konfigurasi partai politik. (2) Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR. (3) Setiap anggota MPR yang berasal dari anggota DPR harus menjadi anggota salah satu fraksi. (4) Fraksi dibentuk untuk mengoptimalkan kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat. (5) Pengaturan internal fraksi sepenuhnya menjadi urusan fraksi masing-masing. (6) MPR menyediakan sarana bagi kelancaran tugas fraksi.”

Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Mahkamah agar frasa “fraksi” atau “tugasnya sebagai wakil rakyat” dalam Pasal 12 UU MD3 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “sebagai tugasnya sebagai wakil rakyat untuk dapat menyampaikan pendapat secara perseorangan wakil rakyat dan bukan atas nama fraksi.” Serta menyatakan frasa “hak dan kewajiban anggota DPR” dalam Pasal 82 UU MD3 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai “hak dan kewajiban perseorangan anggota DPR untuk menyatakan pendapatnya perseorangan tanpa pengaruh dan atas nama fraksi”. Kemudian, Pemohon meminta agar MK menyatakan frasa “hak dan kewajiban anggota DPR” dalam Pasal 82 UU MD3 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai “hak dan kewajiban perseorangan anggota DPR untuk menyatakan pendapatnya perseorangan tanpa pengaruh dan atas nama fraksi”. Tak hanya itu, Pemohon juga meminta agar MK menyatakan frasa “diusulkan oleh partai politiknya” dalam Pasal 239, Pasal 239 ayat (2), Pasal 239 ayat (2) huruf d dan huruf g, serta Pasal 167 ayat (3) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.

Perkara ini disidangkan Majelis Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Menurut Guntur, Pemohon belum cermat dalam mengajukan petitum permohonan sebab akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena apabila dikabulkan akan ada norma yang hilang tanpa ada pemaknaan kembali. “Diberikan tafsir jadi hanya tafsir bahwa itu inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai ya apa yang Saudara inginkan,” tutur Guntur.

Sebelum menutup persidangan, Guntur mengatakan para Pemohon memiliki kesempatan untuk memperbaiki permohonan selama 14 hari. Berkas perbaikan permohonan harus diterima Mahkamah paling lambat pada Senin, 19 Mei 2025.(*)

Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini Sayu Fauzia

Source: Laman Mahkamah Konstitusi