Ketika Pemohon Perkara di MK Meninggal Dunia

JAKARTA, HUMAS MKRI – Kuasa hukum Pemohon Perkara Nomor 2/PUU-XXII/2024 mengenai permohonan uji materi Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) mengganti nama Pemohon. Sebelumnya, Pemohon perkara ini adalah Sopan Santun Duha kemudian menjadi Maribati Duha yang merupakan istri Sopan Santun Duha. Perubahan nama Pemohon ini dikarenakan Sopan Santun Duha meninggal dunia pada 7 Januari 2024 sehingga tidak lagi dapat bertindak sebagai subjek hukum.

“Melalui permohonan provisi ini, ahli waris dengan ini mengajukan permohonan kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi kiranya berkenan untuk memutus dalam provisi yang pada pokoknya menyatakan ahli waris berhak melanjutkan dan bertindak sebagai Pemohon dalam perkara pengujian Pasal 251 KUHD dengan Nomor Perkara 2/PUU-XXII/2024 yang sebelumnya diajukan oleh suami Pemohon. Oleh karenanya terdapat perubahan identitas Pemohon dalam permohonan a quo,” ujar kuasa hukum Pemohon, Rendi Vlantino Rumapea dalam sidang dengan agenda perbaikan permohonan pada Senin (5/2/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.

Menurut Rendi, Maribati sebagai istri Sopan Santun sah bertindak sebagai ahli waris yang dibuktikan dengan surat keterangan waris. Rendi mengatakan, dalam hukum pewarisan, seluruh hak dan kewajiban pewaris secara otomatis akan beralih ke ahli waris, termasuk hak melanjutkan gugatan yang sedang berlangsung apabila ahli waris berkehendak.

Kendati demikian, Rendi memahami jika hal tersebut tidak serta merta dapat diterapkan dalam proses pengadilan norma. Namun, menurutnya, terdapat indikator yang telah dipenuhi ahli waris yakni pengujian norma berupa upaya hukum untuk memperjuangkan hak-hak tersebut akan beralih ke ahli waris, antara pewaris dan ahli waris memiliki kedudukan hukum dan kerugian konstitusional yang sama, kerugian konstitusional tersebut secara faktual telah dialami pewaris, serta kerugian konstitusional tersebut secara penalaran yang wajar dipastikan akan dialami ahli waris.

“Ahli waris telah secara rigid dapat menguraikan jika kedudukannya untuk dapat melanjutkan dan bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo. Apalagi ditambah fakta jika dibuat dalam bentuk permohonan baru, maka berkas permohonan tidak akan mengalami perubahan, terkecuali pada identitas Pemohon. Sedangkan di sisi lain hal tersebut akan menimbulkan kerugian bagi Ahli Waris karena proses persidangan akan membutuhkan waktu yang semakin lama. Oleh karenanya, Pemohon memohon kearifan dan kebijaksanaan yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi kiranya berkenan untuk mengabulkan permohonan provisi a quo,” kata Rendi di hadapan panel hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur didampingi Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.

Menanggapi hal tersebut, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menegaskan, MK ialah peradilan untuk menguji norma undang-undang terhadap konstitusi, bukan mengadili kasus konkret. Menurut Guntur, permohonan ini kemungkinan dinyatakan gugur.

“Kemungkinan permohonan ini gugur dulu, dinyatakan gugur dulu. Nanti setelah itu, baru diajukan permohonan baru,” kata Guntur.

Guntur melanjutkan, perkara ini akan dilaporkan ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Namun, sebelum permohonan ini dinyatakan gugur, Guntur menasihati sebaiknya permohonan ini ditarik, kemudian diajukan permohonan baru. Pemohon dapat menambah ahli waris lainnya seperti anak atau saudara dalam mengajukan permohonan yang baru. Penentuan ahli waris terlebih dahulu harus ditetapkan oleh pengadilan.


Baca juga:

Nilai Klaim Asuransi Tak Sesuai, Pemohon Uji KUHD


Sebagai tambahan informasi, seorang warga Nias, Sumatera Utara bernama Sopan Santun Duha mengajukan permohonan pengujian Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon Perkara Nomor 2/PUU-XXII/2024 itu merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena menerima nilai klaim asuransi Rp 224,5 juta yang tidak sesuai dengan semestinya yaitu Rp 735 juta.

“Pasal 251 KUHD membuka ruang yang begitu besar bagi perusahaan asuransi untuk memanfaatkan norma tersebut guna kepentingan pribadi perusahaan dan juga dapat dimanfaatkan guna menghindari pertanggungjawaban atas kesalahan atau kelalaian yang dibuat oleh tim internal perusahaan asuransi itu sendiri,” ujar kuasa hukum Pemohon, Rendi Vlantino Rumapea, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Selasa (23/1/2024) di Ruang Sidang MK.

Pasal 251 KUHD menyatakan, “Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyiannya keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal.” Pemohon menilai norma tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 (inkonstitusional).

Menurut Pemohon, Pasal 251 KUHD luput untuk memberikan kepastian hukum yang adil, jaminan, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi tertanggung. Pengaturan ini sering kali dimanfaatkan sebagai celah hukum oleh perusahaan asuransi yang mengakibatkan kerugian bagi tertanggung.

Pemohon berpendapat, Pasal 251 KUHD telah memberikan hak kepada perusahaan asuransi untuk bertindak sebagai hakim atas perkaranya sendiri, yakni menilai apakah terdapat pemberitahuan yang keliru atau tidak benar dan penyembunyian keadaan tertentu yang diduga dilakukan tertanggung. Perusahaan asuransi dapat membatalkan polis secara sepihak tanpa mempertimbangkan dan menilai keterangan tertanggung.

Di tengah persidangan berlangsung, kuasa hukum Pemohon, Rendi Vlantino Rumapea, menyatakan bahwa Pemohon sudah meninggal dunia. Menanggapi hal ini, Ketua Panel Hakim Ridwan Mansyur mengonfirmasi kepada kuasa hukum Pemohon ihwal kabar meninggalnya Pemohon. Rendi pun menegaskan bahwa Pemohon telah meninggal dunia. Berdasarkan akta kematian, Sopan Santun Duha meninggal dunia pada 7 Januari 2024.

 

 

Penulis: Mimi Kartika.

Editor: Nur R.

Humas: Andhini SF.

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi