Pemohon Cabut Permohonan Uji Konstitusionalitas Peraturan Presiden
JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) pada Senin (19/12/2022). Permohonan ini diajukan oleh Bonatua Silalahi dan PT Bina Jasa Konstruksi sebagai para Pemohon.
Dalam permohonan yang teregistrasi Nomor 116/PUU-XX/2022 ini, Pemohon mempersoalkan norma Pasal 1 angka 6 UU12/11 yang menyatakan “Peraturan Presiden (PS) adalah Peraturan Perundang-Undangan (PPU) yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah PPU yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan”. Selain norma di atas, para Pemohon juga mempersoalkan Pasal 7 ayat 1 dan Pasal 13 UU P3 beserta penjelasannya.
Dalam sidang kedua ini, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengatakan pada 17 Desember 2022, MK melalui Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK telah menerima surat dari Pemohon. “Kami bacakan, ya. Kepada yang terhormat Panitera, sehubungan dengan sidang perkara 116/PUU-XX/2022 maka kami selaku pemohon menyatakan mencabut dan mengundurkan diri dari permohonan pengujian undang-undang dan alasan mengikuti saran hakim Mahkamah Konstitusi. Saya ucapkan terima kasih atas layanan publik yang luar biasa dan perhatiannya. Jadi kami mengkonfirmasi mengenai surat ini, apakah betul dan ini disampaikan oleh pemohon,” ujar Wahiduddin dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan M. Guntur Hamzah.
Menanggapi hal tersebut, Bonatua Silalahi menegaskan bahwa hal tersebut benar dilakukannya. “Baik, Yang Mulia, itu benar, Yang Mulia saya yang mengundurkan diri,” tegasnya.
Baca juga: Menyoal Konstitusionalitas Peraturan Presiden
Dalam sidang sebelumnya, Bonatua menjelaskan, UU P3 bermasalah karena tidak menyebutkan sama sekali menambah posisi peraturan presiden berbeda dengan UUD 1945. Dalam permohonannya, para Pemohon menjelaskan bahwa dengan adanya pemberlakuan pasal a quo yang menyatakan Peraturan Presiden (Perpres) sebagai Peraturan perundang-undangan yang baru dan langsung menempati posisi hierarki lebih rendah dari Peraturan Pemerintah (PP) dan lebih tinggi dari Peraturan Daerah Provinsi dan Pertauran Daerah/Kabupaten Kota berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para Pemohon terhadap dasar pembentukan Perpres khususnya yang dibentuk atas dasar penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
Para Pemohon juga memandang frasa “atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan” dalam pasal yang diujikan juga mengandung multitafsir. Multitafsir tersebut di antaranya PP boleh dibuat tanpa adanya perintah pelaksanaan dari UU atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain hal tersebut pembentukan perpres juga dapat mengakibatkan terjadinya intervensi bahkan barter kekuasaan antara kekuasaan pemerintah terhadap kekuasaan lainnya dengan adanya pembentukan perpres. Untuk itu, para Pemohon meminta MK untuk menyatakan perpres bukanlah peraturan perundang-undangan turunan langsung dari UUD 1945, frasa “atau dalam menyelenggarakan pada pasal a quo dihapus, tidak sesuai dan batal demi hukum”.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi