Dualisme Kewenangan LMK dan LMKN dalam Pengelolaan Royalti Hak Cipta

JAKARTA, HUMAS MKRI - Para musisi yang tergabung dalam Aliansi Pencinta Musik Indonesia (APMI) mengajukan uji materiil Pasal 89 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka adalah M. Ali Akbar (Pemohon I), Ento Setio Wibowarno (Pemohon II), Pamungkas Narashima Murti (Pemohon III), Sugiyatno  (Pemohon (IV), Muhammad Gusni Putra  (Pemohon V), dan Anton Setyo Nugroho (Pemohon VI). Sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 30/PUU-XXIII/2025 digelar di MK pada Kamis (24/4/2025).

Pasal 89 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menyatakan, “1) Untuk pengelolaan Royalti Hak Cipta bidang lagu dan/atau musik dibentuk 2 (dua) Lembaga Manajemen Kolektif nasional yang masing-masing merepresentasikan keterwakilan sebagai berikut: a. kepentingan Pencipta; dan b. kepentingan pemilik Hak Terkait. 2) Kedua Lembaga Manajemen Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti dari Pengguna yang bersifat komersial. 3) Untuk melakukan penghimpunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kedua Lembaga Manajemen Kolektif wajib melakukan koordinasi dan menetapkan besaran Royalti yang menjadi hak masing-masing Lembaga Manajemen Kolektif dimaksud sesuai dengan kelaziman dalam praktik berdasarkan keadilan. 4) Ketentuan mengenai pedoman penetapan besaran Royalti ditetapkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan disahkan oleh Menteri.”

Pemohon I–IV adalah pencipta lagu; Pemohon V adalah penyanyi; dan Pemohon VI adalah penulis buku dan pecinta musik Indonesia sekaligus inisiator yang membentuk Aliansi Pencinta Musik Indonesia (APMI). Dalam persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Anton Setyo Nugroho menyatakan bahwa norma yang diujikan tersebut telah gagal memberikan kepastian hukum terkait distribusi dan pengelolaan royalti pencipta lagu. Ketidakjelasan regulasi ini, memungkinkan interpretasi liar yang melahirkan lembaga seperti Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Akibatnya terjadi pembelokan aturan dengan terbitnya PP 56/2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan Musik, yang merugikan pencipta lagu dan pemilik hak terkait, serta menimbulkan ketidakadilan dalam praktik pengelolaan royalti  sebagaimana dijamin konstitusi pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terkait prinsip kepastian hukum dan keadilan.

Menurut para Pemohon, norma-norma yang diujikan tersebut juga melanggar hak milik individu yang dijamin dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Sejatinya hak ekonomi pencipta yang seharusnya dilindungi, rentan diambil alih oleh mekanisme yang tidak transparan dan tidak adil. Norma tersebut digunakan untuk memberikan kewenangan yang luas kepada LMKN untuk menarik dan menghimpun royalti, tanpa adanya mekanisme kontrol yang ketat. Sehingga hal ini berpotensi menjadi bentuk perampasan hak ekonomi yang bertentangan dengan UUD 1945.

Selain itu, norma tersebut juga dinilai melanggar prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana dijamin Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Sebab sentralisasi pengelolaan royalti melalui LMKN, tidak melibatkan pencipta secara langsung tersebut berpotensi melanggar prinsip demokrasi. Tidak terbuka ruang partisipasi pencipta lagu dalam menentukan besaran dan mekanisme pembagian royalti, sehingga mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat dalam pengelolaan ekonomi kreatif. Norma tersebut dari beberapa aspek juga dirasa telah melampaui kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, karena pada Pasal 89 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU Hak Cipta yang dijadikan dasar untuk membentuk Lembaga Manajamen Kolektif Nasional (LMKN) tersebut padahal tidak ditemukan adanya amanat pembentukannya.

“Norma tersebut hanya mengatur kewenangan satu entitas yang bernama Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan tidak menyebutkan entitas lainnya. Oleh sebab itu, pembentukan LMKN merupakan ultra vires melampaui kewenangan yang diberikan oleh undang-undang induknya,” jelas Anton dalam sidang yang digelar di Ruang Sidang Panel MK.

Pada Pasal 1 butir 22 UU Hak Cipta memberikan definisi Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) sebagai institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau Pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. Lembaga ini diberikan hak untuk mengelola hak ekonomi atas suatu ciptaan, seperti lagu, musik, buku dan film, dan atau hak terkait seperti karya pertunjukan, karya rekaman, karya siaran, untuk mewakili dan atas nama pemegang hak. Sementara pada Pasal 1 UU Hak Cipta tidak mengatur tentang keberadaan LMKN, sehingga lembaga ini tidak memiliki dasar hukum yang jelas dalam pembentukan dan kewenangannya. Keberadaan LMKN berdampak terhadap ketidakpastian sosial bagi Pencipta dan Pemilik Hak Cipta. Dalam praktiknya, Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) telah lama berfungsi sebagai wadah pencipta untuk mengelola hak ekonomi mereka secara mandiri. Sementara LMKN tidak memiliki legitimasi dalam UU Hak Cipta, justru terjadi dualisme kewenangan yang membingungkan para pencipta. Ketidakpastian dalam distribusi royalti akibat dualitas LMK dan LMKN membuat banyak pencipta kesulitan mendapatkan hak ekonomi karena keterlambatan pembayaran royalti.

 

“Memohon agar Mahkamah menyatakan frasa “nasional” dalam Pasal 89 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2014 tidak dapat diartikan sebagai dasar pembentukan lembaga baru bernama Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN); menyatakan mekanisme pengelolaan royalti tetap dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) sebagaimana yang telah berlaku sebelumnya, tanpa intervensi dari entitas perantara yang tidak diperlukan; memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan revisi terhadap UU Nomor 28 Tahun 2014 sebagai akibat atas pertentangannya dengan UUD 1945 agar lebih sesuai dengan perkembangan dinamika sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi; dan memerintahkan dalam revisi terhadap UU Nomor 28 Tahun 2014 pembentukan lembaga khusus sebagai forum komunikasi bagi pemangku kepentingan dalam industri musik dan budaya, namun bukan sebagai pemungut royalti,” ucap Anton membacakan petitum para Pemohon.

 

Kerugian Konstitusional

Dalam nasihat Hakim Sidang Panel, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengatakan para Pemohon perlu menguraikan lebih lanjut terkait kerugian konstitusional dengan keberlakuan pasal yang diujikan. Kemudian para Pemohon pada pokok permohonan harus mempertegas posita atau hal yang diinginkan terhadap norma yang diujikan.

Selanjutnya para Pemohon harus mencermati dengan baik terkait petitum yang dimohonkan kepada Mahkamah. “Ini dimaksudkan dengan tidak dapat diartikan sebagai dasar lembaga baru ini, apa maksudnya? Ini mungkin bahasa lisan, jika melihat petitum angka 2 dan angka 3 ini kontradiksi. Coba cermati, apakah ini dinyatakan semua inkonstitusional atau konstitusional bersyarat,” jelas Hakim Konstitusi Daniel.

 

Sementara Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah mengatakan perlu bagi para Pemohon untuk memperhatikan beberapa bagian dari permohonan, di antaranya sistematika permohonan yang terdiri atas data pribadi para Pemohon, pokok permohonan, alasan permohonan, dan petitum. “Menyangkut legal standing, kedudukan hukum, itu isinya menjelaskan keterkaitan kerugian dengan berlakunya norma ini. Apa yang membuat Bapak rugi dengan berlakunya norma ini, bisa faktual atau potensial sebagai pintu masuk dalam permohonan ini. Penjelasan ini bisa berbeda-beda, penyanyi, pencipta lagu, penulis buku, coba dijelaskan kerugiannya,” terang Hakim Konstitusi Guntur.

Pada akhir persidangan Hakim Konstitusi Guntur mengatakan, para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari hingga selambat-lambatnya pada Rabu, 7 Mei 2025 untuk menyempurnakan permohonan. Naskah perbaikan dapat diserahkan kepada Kepaniteraan MK untuk kemudian diagendakan sidang selanjutnya dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan para Pemohon.


Baca selengkapnya: Permohonan Perkara Nomor 30/PUU-XXIII/2025


Penulis: Sri Pujianti.

Editor: Nur R.

Humas: Fauzan F.


 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi