Pemohon Cabut Permohonan Penafsiran Warga Negara Indonesia dalam UUD 1945
JAKARTA, HUMAS MKRI – Pemohon mencabut permohonan penafsiran yang dimaksud “Warga Negara Indonesia” dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Menurut Pemohon Perkara Nomor 138/PUU-XXII/2024 tersebut, penafsiran pasal dalam UUD 1945 bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Pemohon mengajukan pencabutan Perkara Nomor 138/PUU-XXII/2024 dengan alasan pokok perkara penafsiran Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 26 ayat (1) tentang yang dimaksud Warga Negara Indonesia tidak menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi sehingga tidak ada hukum acara untuk itu,” ujar Pemohon, seorang advokat bernama Subhan dalam sidang perbaikan permohonan pada Selasa (22/10/2024) di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.
Perkara ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah. Arief mengapresiasi Pemohon yang telah hadir langsung di persidangan untuk menyampaikan pencabutan perkara tersebut dan mengenai kelanjutan permohonan perkara ini akan dibahas dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
“Ini nanti akan kita laporkan kepada Rapat Permusyawaratan Hakim untuk diproses lebih lanjut di dalam Rapat Permusyawaratan Hakim dan nanti Pak Subhan tinggal menunggu panggilan dari Kepaniteraan,” ucap Arief.
Baca juga: Pemohon Minta MK Tafsirkan Frasa “Warga Negara Indonesia” dalam UUD 1945
Sebagai informasi, selengkapnya Pasal 26 ayat (1) berbunyi, "Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undangundang sebagai warga negara." Pemohon menjelaskan, "Warga Negara Indonesia" telah dijadikan sebagai syarat utama untuk menjadi presiden, wakil presiden, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota, anggota MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta jabatan-jabatan strategis negara lainnya.
Menurut Pemohon, dalam permohonannya, banyak orang dari bangsa lain yang menganggap dirinya Warga Negara Indonesia tetapi tidak memiliki pengesahan sebagai Warga Negara Indonesia dan menduduki posisi/jabatan strategis di pemerintahan. Namun, terdapat kenyataan, pengisian jabatan tersebut banyak yang disertai dan/atau diikuti oleh orang dari bangsa lain yang belum memiliki status pengesahan sebagai Warga Negara Indonesia. Pemohon mengatakan orang dari bangsa lain yang lahir dan tinggal di wilayah Indonesia menganggap dirinya otomatis telah menjadi Warga Negara Indonesia.
Sehingga kata Pemohon, telah terjadi pemilihan umum (pemilu) yang disertai oleh orang bangsa lain yang ternyata tidak memiliki pengesahan sebagai Warga Negara Indonesia, baik orang tuanya atau leluhurnya. Dalam permohonannya, Pemohon menyebut calon presiden pada Pemilu 2024 lalu Anies Rasyid Baswedan serta Habib Luthfi bin Yahya yang diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) diketahui oleh umum adalah orang bangsa Yaman yang tidak memiliki pengesahan sebagai Warga Negara Indonesia, yang secara mutatis mutandis yang bersangkutan tidak memiliki status sebagai Warga Negara Indonesia.
Pemohon mengatakan, peranakan dari bangsa lain dapat menjadi Warga Negara Indonesia dan harus dengan pengesahan berdasarkan Undang-Undang sebagaimana ketentuan yang sudah konstitusional absolut diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menafsirkan Pasal 26 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ialah "Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara." Penafsiran dari bangsa lain yang menjadi Warga Negara Indonesia, harus dibuktikan dengan adanya Pengesahan sebagai Warga Negara Indonesia. Semua Undang-Undang yang didalamnya terdapat pengisian jabatan, baik dipilih ataupun diangkat, yang diikuti dan/atau disertai oleh warga negara dari bangsa lain, wajib menyertakan bukti adanya pengesahan dari yang bersangkutan sebagai Warga Negara Indonesia.
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan
Source: Laman Mahkamah Konstitusi