Ketidakjelasan Aturan Pemindahan TPS Ancam Hak Pilih Mahasiswa Luar Daerah
JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan. Perkara Nomor 137/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Satrio Anggito Abimanyu bersama 10 (sepuluh) rekannya yang merupakan mahasiswa. Para Pemohon adalah mahasiswa aktif di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, yang juga terdaftar sebagai pemilih sementara di berbagai TPS di daerah asal para Pemohon masing-masing.
Yuniar Riza Hakiki selaku kuasa hukum dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah mengatakan Para Pemohon berpendapat bahwa hak konstitusional Para Pemohon yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 dirugikan oleh berlakunya Pasal 62 ayat (1) juncto Pasal 95 ayat (2) UU 1/2015. Frasa “di tempat lain” dan “di TPS lain” dalam ketentuan tersebut tidak memberikan kejelasan terkait pemindahan lokasi pemilihan, khususnya bagi pemilih yang harus memilih di luar provinsi atau kabupaten/kota. Akibat ketidakjelasan ini, para Pemohon yang tengah menempuh pendidikan di luar daerah asal terancam kehilangan hak pilih Para Pemohon pada Pilkada 27 November 2024.
“Ketentuan mengenai frasa ‘di tempat lain’ dalam Pasal 62 ayat (1) UU 1/2015 dan frasa ‘di TPS lain’ dalam Pasal 95 ayat (2) UU 1/2015 tidak secara spesifik menentukan teritorial ‘di tempat lain’ dan ‘di TPS lain’ itu termasuk tempat dan TPS di luar daerah provinsi, dan/atau kabupaten/kota. Sehingga para Pemohon maupun warga negara lain yang pada hari pemungutan suara mengalami ‘keadaan tertentu’ sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 50 PKPU 7/2024 tidak dapat menggunakan hak pilihnya, kecuali jika dipaksakan untuk menggunakan hak pilih di TPS asal dengan segala kompleksitas, kendala, risiko dan berbagai hambatan lainnya,” ujar Yuniar.
Akibat tidak jelasnya makna frasa “di tempat lain” dalam Pasal 62 ayat (1) UU 1/2015 dan frasa “di TPS lain” dalam Pasal 95 ayat (2) UU 1/2015 telah atau setidaktidaknya potensial menimbulkan tidak terpenuhinya hak konstitusional para Pemohon dan warga negara lain yang mengalami keadaan tertentu pada hari pemungutan suara pemilihan kepala daerah. Dengan demikian, Pasal 62 ayat (1) UU 1/2015 dan Pasal 95 ayat (2) UU 1/2015 menjadi tidak sejalan dengan amanat Pasal 28I ayat (5) UUD 1945, karena UU 1/2015 tidak dapat menjadi instrumen hukum yang dapat menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis.
Para Pemohon menganggap memenuhi syarat "keadaan tertentu" yang diatur dalam Pasal 50 ayat (3) PKPU Nomor 7 Tahun 2024, karena tidak dapat memilih di TPS asal akibat sedang menempuh pendidikan di tempat lain. Namun, aturan yang ada tidak secara spesifik mengakomodasi pemindahan lokasi pemilih lintas daerah, sehingga Para Pemohon berpotensi tidak dapat menggunakan hak pilihnya.
Sehingga, para Pemohon meminta MK untuk memprioritaskan pemeriksaan permohonan yang diajukan guna melindungi hak konstitusional Para Pemohon dan mencegah terjadinya kerugian konstitusional. Para Pemohon juga memohon agar MK menyatakan frasa “di tempat lain” dalam Pasal 62 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD NRI 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali jika dimaknai sebagai “di luar daerah provinsi asal dan/atau di luar daerah kabupaten/kota asal.” Selain itu, Para Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa “di TPS lain” dalam Pasal 95 ayat (2) UU No. 1 Tahun 2015 juga bertentangan dengan UUD NRI 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali jika dimaknai sebagai “di TPS luar daerah provinsi asal, dan/atau di TPS luar daerah kabupaten/kota asal”.
Menanggapi permohonaan Pemohon, Hakim Konstitusi Arsul Sani meminta Para Pemohon untuk menjelaskan kerugian konstitusional. “Ini para Pemohon apa baru menggunakan hak pilihnya atau pernah menggunakan hak piihnya. Supaya jelas bahwa kerugian konstitusionalnya itu sudah kerugian konstitusional yang aktual atau potensial. Jadi ini nanti tolong diperbaiki,” pinta Arsul.
Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan Para Pemohon. Adapun penerimaan berkas perbaikan paling lambat diterima MK adalah Kamis, 17 Oktober 2024 pukul 15.00 WIB. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan
Source: Laman Mahkamah Konstitusi