Pemberhentian Hakim Konstitusi dan Perubahan Putusan MK Dipersoalkan

JAKARTA, HUMAS MKRI - Seorang advokat, Zico Leonard Djagardo mengajukan permohonan pengujian Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 27A ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Sidang perdana terhadap Perkara Nomor 17/PUU-XXI/2023 ini digelar di Ruang Sidang Pleno MK pada Kamis (16/2/2023).

“Perkara ini sebenarnya merupakan perkara ulang dari putusan 103 (Putusan Nomor 103/PUU-XX/2022) tentang penggantian Hakim Konstitusi Aswanto,” kata Zico mengawali uraian permohonan di hadapan Sidang Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dengan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Suhartoyo selaku hakim anggota.

Pasal 23 ayat (1) UU MK berbunyi, “Hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat dengan alasan: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri atas yang diajukan kepada Konstitusi; c. telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun; d. dihapus; atau e. sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.”

Pasal 23 ayat (2) UU MK berbunyi, “Hakim konstitusi diberhentikan tidak dengan hormat apabila: a. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara; b. melakukan perbuatan tercela; c. tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; d. melanggar sumpah atau janji jabatan; e. dengan sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi memberi putusan dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; f. melanggar larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; g. tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi; dan/atau h. melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.”

Pasal 27A ayat (2) UU MK berbunyi, “Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang keanggotannya terdiri atas: a. 1 (satu) orang hakim konstitusi; b. 1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial; c. 1 (satu) orang akademisi yang berlatar belakang di bidang hukum; d. dihapus; dan e. dihapus.”

Zico (Pemohon) dalam permohonannya mengungkapkan, sebagai pihak yang beperkara di MK ia sangat membutuhkan independensi hakim konstitusi dalam memutus perkara. Oleh karena itu, ketika DPR mengintervensi MK dengan mengganti hakim yang menjadi “wakil” mereka, hal ini melanggar hak-hak konstitusional Zico untuk mendapatkan keadilan melalui kekuasaan kehakiman yang merdeka. Independensi MK digerus oleh DPR melalui upaya mengganti hakim konstitusi agar sejalan dengan mereka.

Zico juga mengungkapkan keterkejutannya ketika menonton ulang rekaman sidang pengucapan Putusan Nomor 103/PUU-XX/2022, dan membaca file putusan beserta risalah sidangnya. Dia mendapati adanya perbedaan saat pengucapan putusan dengan file putusan dan risalah sidang yang diunggah di laman MK.

“Bisa-bisanya terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara substansi putusan yang dibacakan dengan substansi di dalam file putusan dan juga risalah sidang, dimana ada perubahan dari kata ‘”Dengan demikian,” menjadi “Ke depan”. Saya  yakin ini adalah suatu kesengajaan yang sangat terang benderang dan bukan sekedar typo belaka, dikarenakan makna kata-kata yang diubah sangat signifikan bedanya. Inilah pertama kali dalam sejarah hukum Indonesia, Putusan yang diucapkan berbeda dari putusan yang diterima. Tidak pernah terjadi di pengadilan manapun di Indonesia, hanya di Mahkamah Konstitusi,” jelas Zico.

Terjadinya hal tersebut membuat Pemohon sebagai pihak yang dirugikan, muncul pemikiran negatif. Pemohon merasa yakin hal ini adalah sebuah kesengajaan yang ditujukan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu. Pemohon pun berupaya mencari jawabannya untuk menemukan siapakah pelakunya. Selain itu, Pemohon membawa kasus ini kepada aparat yang berwenang melalui upaya hukum.

“Pemohon berencana untuk memperkarakan ini bahkan hingga ke ujung bumi sekalipun, dan berencana menempuh semua upaya hukum yang ada dalam lingkup pidana, dalam lingkup tata usaha negara, dalam lingkup tata negara dan institusi Mahkamah Konstitusi. Harus dilakukan penyelidikan untuk menemukan siapakah pelakunya. Dan salah satu upaya yang Pemohon lakukan adalah memperkarakan ulang perkara ini,” lanjut Zico.

Dalam petitum provisinya, Zico antara lain meminta MK agar mengecualikan Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dalam mengadili dan memutus perkara a qua.  Kemudian mengecualikan Panitera Muhidin dalam mengadministrasi perkara a quo.

Sedangkan dalam petitum pokok perkara, Zico meminta MK menyatakan Pasal 23 ayat (1) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang dimaknai “termasuk juga ditarik (di-recall) oleh lembaga pengusungnya dengan alasan tidak disukai oleh lembaga pengusungnya karena mematikan produk yang dibuat oleh lembaga pengusungnya. Kemudian, menyatakan Pasal 23 ayat (2) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “termasuk juga mengubah substansi dalam putusan yang telah dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Zico juga meminta MK menyatakan frasa “Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi” dalam Pasal 27 ayat (2) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dibentuk selambatnya dalam waktu 1 bulan setelah perkara a quo diputus. Selain itu, menyatakan frasa “1 (satu) orang hakim konstitusi” dalam Pasal 27 ayat (2) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “ 1 (satu) orang mantan hakim konstitusi”, atau menyatakan frasa “1 (satu) orang hakim konstitusi” dalam Pasal 27 ayat (2) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai bahwa hakim konstitusi yang menjadi anggota Majelis Kehormatan bukanlah hakim konstitusi yang diperkarakan ataupun diduga terlibat dalam hal yang diperkarakan kepada Majelis Kehormatan.

 

Perjelas Alasan Permohonan

Terhadap permohonan ini, Hakim Konstitusu Suhartoyo mengatakan perkara ini seperti mengulang Perkara Nomor 103/PUU-XX/2022. Oleh karena itu, Suhartoyo menyampaikan nasihat kepada Pemohon agar menjelaskan alasan berbeda dengan permohonan sebelumnya. Terlebih soal legal standing atas pasal yang dituju merugikan hak konstitusional Pemohon.

“Dalam posisi ini Pemohon sebagai apa sehingga mempunyai pandangan ada anggapan kerugian konstitusional. Jika alasannya salah satunya berkaitan dengan pemberhentian dengan tidak hormat karena melakukan perubahan putusan atau alasan apapun, tolong jelaskan apakah hal demikian itu jadi bagian perbuatan tercela atau tidak karena ini pada pasal yang diujikan itu maknanya cukup luas,” sebut Suhartoyo.

Selain itu Suhartoyo juga meminta agar Pemohon memperhatikan petitum yang mengajukan permintaan inkonstitusionalitas atas Pasal 23 ayat (1) UU MK. Untuk permintaan ini Pemohon diharapkan dapat membuat argumen dan konstruksi yang jelas atas pernyataan dari norma ini. Selain itu, Suhartoyo menyarankan agar Pemohon yang menyebutkan perihal syarat MKMK dari hakim konstitusi, karena sejatinya itu adalah perintah undang-undang.

“Maka Pemohon perlu kembali mempelajari PMK tentang MKMK yang pada intinya keanggotaan MKMK dari unsur hakim aktif itu akan dibuat periodik dan tidak seperti akademisi dan tokoh masyarakat. Jadi konsepnya tidak akan ikut melekat defenitif bersama dengan anggota MKMK lainnya. Jadi, elaborasi posita dan petitum tentag hal ini,” saran Suhartoyo.

Berikutnya Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dalam nasihatnya menyebutkan beberapa hal yang perlu disempurnakan dalam permohonan. Wahiduddin menyoroti legal standing Pemohon harus menyertakan dalil terhadap pengujian Pasal 27A ayat (2) UU MK yang dinilai merugikan hak konstitusionalnya. Selanjutnya Wahiduddin juga meminta agar Pemohon menyertakan bukti-bukti terkait dengan dalil dalam permohonan ini.

“Sebagai advokat yang diuraikan adalah bukti yang terkait pula dengan fakta yang ada. Dan untuk petitum ada yang kurang terkait dengan pokok perkara, di mana rumusan konstitusional bersyarat ini bermakna pembuatan norma baru, ini bukan bagain dari kewenangan MK. Hal ini perlu dicermati lagi atas hal yang diinginkan, perlu dijelaskan makna yang diharapkan ini,” jelas Wahiduddin.

Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mencermati mengenai perlunya bagi Pemohon untuk memperhatikan revisi UU PPP yang perlu disesuaikan dan dalam kedudukan hukum tidak selamanya Pemohon yang mengajukan permohonan otomatis mendapatkannya. Maka perlu fokus hak konstitusional dalam mengajukan perkara ini.

“Terkait dengan provisi yang diajukan oleh Pemohon dengan mengecualikan atas nama-nama tertentu, maka sebelum adanya putusan atas perkara ini diharapkan Pemohon memperhatikan proses hukum yang masih berlangsung dan perlu dipatuhi proseduralnya,” jelas Daniel.

Sebelum menutup persidangan, Daniel menyebutkan perbaikan permohonan Pemohon dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Rabu, 1 Maret 2023 pukul 09.00 WIB. Untuk sidang selanjutkan akan ditentukan kemudian dan akan diberitahukan kepada para pihak melalui Kepaniteraan MK.

 

Penulis: Sri Pujianti.

Editor: Nur R.

Humas: Tiara Agustina.

 

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi