Menguji Konstitusionalitas Masa Jabatan dan Kewenangan Pengawasan BPKN

JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) terhadap UUD 1945 pada Kamis (3/12/2025). Sidang dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan tersebut menggabungkan dua permohonan sekaligus, yakni Permohonan Nomor 234/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh N.G.N. Renti Maharani Kerti bersama 15 rekannya, serta Permohonan Nomor 235/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh M. Mufti Mubarok bersama 11 pemohon lainnya. Sidang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, didampingi Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Ridwan Mansyur.

Pemohon Permohonan Nomor 234/PUU-XXIII/2025 menguji Pasal 35 ayat (3) UU perlindungan Konsumen yang menyatakan, “Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya”.  Dalam persidangan, para pemohon yang diwakili kuasanya, Novriansyah, menyampaikan bahwa para pemohon sebagai anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) memiliki hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945. Ia menjelaskan, hak tersebut bersumber dari Pasal 28D ayat (1) mengenai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

“Hak konstitusional pemohon juga dilindungi Pasal 28D ayat (2) tentang hak untuk bekerja dan memperoleh imbalan yang adil, Pasal 28D ayat (3) mengenai kesempatan yang sama dalam pemerintahan, serta Pasal 28I ayat (2) yang menjamin setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif,” kata Novriansyah.

Para pemohon berpendapat terdapat diskriminasi struktural karena masa jabatan anggota BPKN hanya tiga tahun, sementara lembaga negara independen sejenis seperti KPK, Ombudsman, Komnas HAM, dan OJK memiliki masa jabatan lima tahun. Perbedaan tersebut dianggap tidak rasional dan berdampak negatif terhadap kelembagaan maupun individu pemohon.

Menurut para pemohon, masa jabatan yang terlalu singkat menyebabkan terganggunya kesinambungan program, hilangnya memori institusi, dan ketidakstabilan karier para anggota BPKN. Dampak lanjutannya dinilai dapat menurunkan efektivitas perlindungan konsumen secara nasional.

Beda dari Putusan Sebelumnya

Novriansyah juga menegaskan permohonan ini berbeda dari Putusan MK Nomor 162/PUU-XXII/2024, yang sebelumnya dinyatakan tidak dapat diterima karena diajukan oleh konsumen yang tidak memiliki kedudukan hukum. Dalam perkara kali ini, permohonan diajukan langsung oleh anggota BPKN yang menurut pemohon memiliki kepentingan hukum dan mengalami kerugian konstitusional. Karena itu, perkara ini dinilai tidak termasuk ne bis in idem dan layak diperiksa lebih lanjut.

Dalam petitum provisinya, Pemohon meminta MK menetapkan perkara ini sebagai prioritas pemeriksaan dan memerintahkan penundaan seluruh proses seleksi anggota BPKN hingga putusan dibacakan. Adapun dalam pokok permohonan, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 35 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen yang mengatur masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota BPKN selama tiga tahun bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon mengusulkan norma tersebut dimaknai sebagai masa jabatan lima tahun dan dapat diperpanjang sekali masa jabatan.

Kewenangan Mengawasi BPKN

Sementara dalam Permohonan Nomor 235/PUU-XXIII/2025, para Pemohon menguji Pasal 30 ayat (1), Pasal 31, Pasal 34 ayat (1), dan Pasal 39 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen. Para Pemohon yang diwakili oleh Fitrah Bukhari menilai Pasal 30 BPKN tidak diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan. Pada akhirnya dengan tiadanya peran pengawasan BPKN menempatkan BPKN seolah lebih rendah atau setara dengan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.

“Hal ini menimbulkan authority confusion yaitu BPKN tidak memiliki pengawasan asertif. Fungsi pengawasan strategis tidak dapat dijalankan secara efektif sehingga potensial melanggar prinsip negara hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,” terang Fitrah.

Menurut Pemohon, ketentuan tersebut dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum, tumpang-tindih kewenangan, serta melemahkan efektivitas pengawasan. Ketidakjelasan ini dinilai merugikan konsumen sebagai pemegang hak konstitusional, karena menciptakan kebingungan saluran pengaduan dan memperburuk akses terhadap keadilan.

Selanjutnya, sejumlah pasal lain seperti Pasal 31, Pasal 34 ayat (1) huruf f, dan Pasal 39 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen juga dinilai menimbulkan ambiguitas kelembagaan dan bertentangan dengan prinsip independensi BPKN. Menurut Pemohon, kedudukan BPKN harus ditegaskan sebagai lembaga independen dengan kewenangan yang jelas, struktur pengawasan terintegrasi, serta jaminan kemandirian anggaran dan organisasi. Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menafsirkan ulang beberapa ketentuan UUPK secara bersyarat agar sesuai dengan UUD 1945 serta memperkuat sistem perlindungan konsumen nasional yang efektif dan berkeadilan.

Nasihat Hakim

Menanggapi permohonan para Pemohon tersebut, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah mengatakan kepada para Pemohon untuk melihat Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 7 Tahun 2025. “Lihat contoh permohonan, kalau dalam contoh hanya ada empat. Kalau disini kan padahal dari segi aturan dalam PMK itu hanya sampai angka romawi empat. Coba di-download ya di laman mkri,” sebut Guntur.  

Selanjutnya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyarankan agar para Pemohon untuk mengkualifikasi Pemohon secara satu persatu. “Mungkin masing-masing memiliki kedudukan hukum dan kerugian yang berbeda karena keberlakuan pasal ini. Nah ini yang Anda uraikan, konsekuensi logisnya karena mencantumkan banyak Pemohon,” saran Ridwan. 

Majelis Hakim Konstitusi memberikan waktu 14 hari kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Perbaikan permohonan selambatnya diterima Kepaniteraan MK selambatnya pada Rabu, 17 Desember 2025 pukul 12.00 WIB. (*)


Jelajahi Jejak: Permohonan Nomor 234/PUU-XXIII/2025 dan 235/PUU-XXIII/2025


Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas:  Fauzan Febriyan

Source: Laman Mahkamah Konstitusi