Lembaga Independen Pengawas ASN Harus Dibentuk

JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan untuk sebagian permohonan uji materiil aturan soal pengawasan Sistem Merit sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) huruf d dan Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Melalui Putusan Nomor 121/PUU-XXII/2024 ini, Majelis Hakim Konstitusi juga mengharuskan dibentuknya lembaga independen yang melakukan pengawasan Sistem Merit—termasuk pengawasan terhadap penerapan asas, nilai dasar, kode etik dan kode perilaku ASN dalam kurun waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan.

“Menyatakan Pasal 26 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6897) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, ‘Penerapan pengawasan Sistem Merit, termasuk pengawasan terhadap penerapan asas, nilai dasar, kode etik dan kode perilaku Aparatur Sipil Negara yang dilakukan oleh suatu lembaga independen’. Lembaga independen dimaksud harus dibentuk dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Putusan a quo diucapkan,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan Putusan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, dan Indonesia Corruption Watch (ICW).

Mahkamah mempertimbangkan UU ASN telah menyerahkan kewenangan yang semula dimiliki oleh KASN kepada BKN dan Kementerian PANRB melalui Pasal 70 ayat (3) UU ASN yang menjadi dasar terbitnya Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2021 tentang Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan I Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2024 tentang Badan Kepegawaian Negara. Dalam hal ini, Kementerian PANRB (Deputi Bidang Sumber Daya Manusia Aparatur) menyelenggarakan fungsi, antara lain perumusan kebijakan di bidang sumber daya manusia aparatur, manajemen aparatur sipil negara, dan pengawasan penerapan Sistem Merit. Adapun BKN melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan di bidang perumusan dan penetapan kebijakan teknis, pembinaan, penyelenggaraan pelayanan, dan pengendalian atas pelaksanaan kebijakan teknis Manajemen ASN.

“Menurut Mahkamah, dengan melihat sejarah perkembangan kepegawaian di Indonesia hingga diundangkannya UU 20/2023, salah satu persoalan kepegawaian, in casu pegawai ASN, mudah diintervensi oleh kepentingan politik dan juga kepentingan pribadi. Terhadap hal tersebut, perlu ada pemisahan fungsi dan kewenangan yang jelas antara pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, dan pengawas kebijakan agar tidak terjadi tumpang tindih peran dan benturan kepentingan. Dalam hal ini, pengawas kebijakan tidak hanya berfungsi sebagai pengawas an sich, namun juga sekaligus sebagai penyeimbang yang berada di luar dari pembuat maupun pelaksana kebijakan guna memastikan Sistem Merit berjalan dengan baik, akuntabel, dan transparan, sehingga mampu menciptakan birokrasi yang profesional, efisien, dan bebas dari intervensi politik serta mampu melindungi karier ASN,” urai Guntur dalam Sidang Pengucapan Putusan yang berlangsung pada Kamis (16/10/2025) siang.

Terlebih, sambung Guntur, norma Pasal 26 UU ASN menggunakan frasa "kementerian dan/atau lembaga" yang secara leksikal dapat diartikan tidak hanya mengacu pada institusi internal di lingkungan pemerintahan, namun juga memungkinkan dibentuknya institusi eksternal sebagai lembaga independen untuk mengawasi pelaksanaan Sistem Merit tersebut. Dalam kaitan ini, sebagai bagian dari desain menjaga kemandirian ASN dan sekaligus melindungi karier ASN, Mahkamah menilai penting untuk membentuk lembaga independen yang berwenang mengawasi pelaksanaan Sistem Merit, termasuk pelaksanaan asas, nilai dasar, kode etik dan kode perilaku ASN.

“Terlebih, di bawah UU 5/2014, pernah dibentuk lembaga independen/non-struktural untuk memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan dan manajemen ASN guna menciptakan pegawai ASN yang profesional dan berkinerja serta sekaligus berperan melindungi karier ASN,” papar Guntur.

Guntur melanjutkan adapun wujud lembaga independen dimaksud merupakan kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengatur dan membentuknya dikarenakan adanya kebutuhan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan akuntabel. Keberadaan lembaga independen dimaksud penting untuk segera dibentuk sebagai lembaga pengawasan eksternal yang menjamin agar Sistem Merit diterapkan secara konsisten, bebas dari intervensi politik dan tidak menimbulkan konflik kepentingan dalam tata kelola atau Manajemen ASN.

Kehilangan Relevansi

Selanjutnya terkait dengan dalil Pasal 70 ayat (3) UU ASN yang memuat ketentuan umum dan norma-norma lain yang berkenaan dengan pengawasan Sistem Merit, maka dengan telah dimaknainya norma Pasal 26 ayat (2) huruf d UU ASN sudah kehilangan relevansi untuk dipertimbangkan lebih lanjut. Hal ini dikarenakan lembaga independen yang dimaksudkan para Pemohon telah terakomodir dalam pemaknaan Pasal 26 ayat (2) huruf d UU ASN. “Dengan demikian, dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan pengujian Pasal 70 ayat (3) UU 20/2023 adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucap Guntur.

Terhadap putusan ini terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Konstitusi Anwar Usman, yang menyatakan menolak permohonan para Pemohon. Alasannya, kebijakan untuk mengalihkan tugas dari KASN kepada Kementerian PAN RB dan BKN merupakan open legal policy. Adapun persoalan netralitas ASN tidak memiliki hubungan langsung terhadap pengawasan dan pembinaan ASN secara menyeluruh.


Baca juga:
Menyoal Hilangnya Pengawasan Sistem Merit KASN dalam UU ASN
Para Pemohon Perkuat Dalil Konstitusional Hilangnya Pengawasan Sistem Merit KASN
DPR: KASN Dihapus Bagian dari Penataan Struktur Manajemen ASN
Pemerintah Bentuk Satgas Penanganan Pelanggaran Netralitas ASN Sebagai Pengganti KASN
Hindari Duplikasi Tugas Lembaga, Perlu Ada Pemisahan Kewenangan Pengelolaan ASN


Sebelumnya, para Pemohon mendalilkan Pasal 26 ayat (2) huruf d UU ASN bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Bahwa Pemohon I menilai dengan dihilangkannya pengawasan sistem merit, asas, dan kode etik serta kode perilaku ASN telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab hal demikian telah pula menghilangkan pengawasan independen atas netralitas penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2024.

Pemohon I, melihat urgensi ini karena berdampak pada lemahnya sistem birokrasi yang profesional, berintegritas, dan memegang prinsip meritokrasi demi terwujudnya pemerintahan yang baik, profesional, terbebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh sebab itu, Pemohon I yang merupakan organisasi yang memiliki kepedulian terhadap demokrasi dan reformasi birokrasi dalam hubungannya dengan penyelenggaraan pemilu di Indonesia, termasuk untuk menghasilkan pemilihan umum yang bersih dan adil, jelas memiliki kepentingan langsung dengan keberadaan pasal-pasal yang Pemohon I dimohonkan untuk diuji ini.

Sementara bagi Pemohon II yang keberadaannya bertujuan memberikan kontribusi optimalisasi pelaksanaan otonomi daerah, kalangan dunia usaha, pemerintah pusat, dan masyarakat luas yang membutuhkan berpendapat asal-pasal a quo berpotensi berdampak pada terganggunya penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah yang bebas dan adil. Sebab dengan tidak terdapat sistem pengawasan yang independen, ASN dapat dengan mudah dimobilisasi untuk kepentingan partisan pemilihan umum. Oleh sebab itu, tindakan pelanggaran atas hal-hal demikian haruslah segera dicegah, ditanggulangi, dan ditindak dengan bijak.

Sedangkan bagi Pemohon III berpandangan dengan dihilangkannya pengawasan sistem merit, asas serta kode etik dan kode perilaku ASN dan dihilangkannya pengawasan independen atas netralitas ASN, akan berdampak pada dilanggengkannya praktik mobilisasi partisan ASN. Tujuannya tak lain untuk kepentingan politis yang berujung pada rekrutmen dan promosi ataupun demosi yang politically-motivated. Sehingga hal tersebut jauh dari prinsip meritokrasi dan good governance, yang berkaitan langsung dengan tujuan dibentuknya organisasi Pemohon III dan kerja-kerja pokok organisasi dari Pemohon III.(*)

Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha M.

Source: Laman Mahkamah Konstitusi