Menyoal Ketiadaan Batas Keadaan Insolvensi dalam UU Kepailitan
JAKARTA, HUMAS MKRI – Aturan mengenai batas dimulainya keadaan insolvensi dalam Penjelasan Pasal 292 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) diuji ke Mahkamah Konstitusi. Sidang perdana Perkara Nomor 181/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh Sandi Ebenezer Situngkir ini digelar pada Jumat (10/10/2025).
Penjelasan Pasal 292 UU Kepailitan menyatakan, “Ketentuan dalam pasal ini berarti bahwa putusan pernyataan pailit mengakibatkan harta pailit Debitur langsung berada dalam keadaan insolvensi”. Dalam Pasal 57 ayat (1) UU Kepailitan, insolvensi sendiri memiliki definisi sebagai keadaan tidak mampu membayar. Menurut Pemohon, pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai penentuan awal dimulainya keadaan insolvensi dalam proses kepailitan dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pemohon menjelaskan, Pasal 178 UU Kepailitan secara tegas mengatur tiga keadaan yang menyebabkan debitor berada dalam kondisi insolvensi, yakni: tidak adanya rencana perdamaian, rencana perdamaian tidak diterima, atau penolakan pengesahan perdamaian melalui putusan berkekuatan hukum tetap. Namun, berbeda dengan Pasal 178 UU Kepailitan, Penjelasan Pasal 292 UU Kepailitan justru secara otomatis menyatakan bahwa debitur langsung berada dalam keadaan insolvensi tanpa melalui tahapan rencana perdamaian.
“Frasa ‘tidak dapat ditawarkan suatu perdamaian’ dalam Pasal 292 berimplikasi bahwa debitor seketika berada dalam keadaan insolvensi. Namun, ketentuan mengenai kapan tepatnya keadaan itu dimulai tidak dijelaskan secara rigid, sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi kurator maupun kreditor,” ujar Simeon Fernandes Marolop selaku kuasa hukum di hadapan Majelis Hakim Konstitusi.
Pemohon menilai ketidakpastian tersebut berdampak langsung pada profesi kurator dalam menentukan waktu pemberesan harta pailit. Hal ini juga berpengaruh terhadap hak eksekusi kreditor separatis sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 159 ayat (1) UU 37/2004, yang mewajibkan pelaksanaan hak eksekusi paling lambat dua bulan setelah debitor berada dalam keadaan insolvensi.
Dalam permohonannya, Pemohon mencontohkan kasus yang pernah dialaminya, di mana PT Bank Mandiri Tbk sebagai kreditor separatis melakukan lelang jaminan sesaat setelah debitor dinyatakan pailit. Namun, pada waktu bersamaan juga terdapat berita acara rapat kreditor yang menegaskan keadaan insolvensi baru beberapa hari kemudian. Kondisi ini, menurut Pemohon, mencerminkan adanya celah hukum dan tafsir ganda yang merugikan kurator maupun kreditor.
Pemohon juga menyoroti bahwa Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung (SK KMA) No.109/KMA/SK/IV/2020 belum memberikan kejelasan terkait penentuan dimulainya keadaan insolvensi yang bersumber dari Pasal 292. Akibatnya, para hakim, praktisi, maupun akademisi kerap menyamakan penerapan Pasal 178 dan Pasal 292, padahal keduanya memiliki perbedaan mendasar.
“Penentuan dimulainya keadaan insolvensi yang diatur dalam Pasal 178 berbeda dengan Pasal 292 dan penjelasannya, namun ahli, hakim maupun praktisi lainnya acapkali menyamakan antara dimulainya insolvensi yang diatur dalam Pasal 178 dengan Pasal 292,”ujar Eliadi Hulu selaku kuasa Pemohon.
Menurutnya, alasan dan penyebab Pasal 178 dijadikan rujukan untuk menentukan dimulainya keadaan insolvensi dalam Pasal 292 adalah karena SK KMA tersebut yang merupakan Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak mengatur lebih lanjut perihal penentuan waktu dimulainya keadaan insolvensi yang diatur dalam Pasal 292.
Konsekuensinya, sambungnya, para praktisi, ahli maupun hakim yang menangani perkara kepailitan dan PKPU menjadikan Pasal 178 sebagai rujukan untuk menentukan waktu dimulainya keadaan insolvensi yang diatur dalam Pasal 292. Padahal, Pasal 178 dan Pasal 292 memiliki perbedaan yang fundamental sebagaimana telah Pemohon jelaskan pada dalil-dalil sebelumnya.
Menanggapi permohonan Pemohon Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyarankan agar memikirkan dampak terkait dengan adanya pemaknaan baru. Sementara Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah meminta kepada para Pemohon agar memperkuat legal standing. “Perlu ada penguatan-penguatan memperdalam kembali kedudukan hukum menyangkut kerugian konstitusional dan anggapan kerugian dengan berlakunya norma tersebut,” sebut Guntur.
Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari untuk para Pemohon memperbaiki permohonannya. Adapun perbaikan permohonan paling lambat diterima MK pada 30 Oktober 2025.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi
