Pekerja Perbaiki Uji Pencairan Dana Pensiun dalam UU P2SK
JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Selasa (7/10/2025). Sidang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.
Dalam sidang dengan agenda perbaikan permohonan Perkara Nomor 164/PUU-XXIII/2025, kuasa hukum para Pemohon, Muhammad Fandrian Hadistianto, menjelaskan pokok-pokok perbaikan sesuai nasihat Majelis Hakim pada sidang sebelumnya. “Pada halaman 18 angka 2, kami menegaskan bahwa meskipun sama-sama menggunakan istilah ‘pensiun’, program Jaminan Pensiun yang bersifat wajib (mandatory) berbeda dengan program Dana Pensiun Pelengkap yang bersifat sukarela (complementary). Oleh karena itu, keduanya tidak dapat dipersamakan dan harus diperlakukan berbeda sebagaimana ditunjukkan dalam tabel,” ujarnya.
Lebih lanjut, pada angka tiga, Fandrian menjelaskan bahwa Dana Pensiun memiliki karakteristik berbeda dengan Jaminan Pensiun. Perbedaan tersebut antara lain dapat ditelusuri dari teori dasar State Preference yang dikemukakan oleh Arrow–Debreu pada tahun 1954. Teori ini menyatakan bahwa preferensi terhadap suatu komoditas tidak hanya ditentukan oleh atribut fisik dan lokasinya dalam ruang dan waktu, tetapi juga oleh kondisi yang melingkupinya.
Menurut teori tersebut, individu dalam sistem ekonomi akan memilih dasar klaim berdasarkan waktu yang memaksimalkan utilitasnya masing-masing, termasuk dalam perencanaan masa pensiun. Dengan demikian, nilai suatu komoditas bersifat subjektif dan bergantung pada kondisi penggunaannya dalam konteks ekonomi tertentu. Teori ini menggambarkan bahwa setiap individu akan berupaya memenuhi kebutuhan jangka panjangnya secara optimal, antara lain melalui pengalokasian dana pensiun ke dalam instrumen seperti ekuitas, surat utang, deposito, real estate, dan aset lainnya.
Baca juga:
Pekerja Uji UU P2SK Tuntut Hak Pencairan Dana Pensiun Sekaligus
Sebagai tambahan informasi, Permohonan Perkara Nomor 164/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh delapan pekerja/pensiunan, di antaranya, Lukas Saleo, Warjito, Haeruddin Fallah. Mereka adalah para pekerja di PT Freeport Indonesia, pekerja dan mantan pekerja PT Kuala Pelabuhan Indonesia, dan pekerja di PT Unilever Indonesia. Para pemohon mempermasalahkan ketentuan pembayaran manfaat pensiun dalam Pasal 161 ayat (2), Pasal 164 ayat (1) huruf d, dan Pasal 164 ayat (2) UU P2SK.
Kerugian yang dialami Para Pemohon bersifat nyata, spesifik, dan juga potensial. Pemohon I–VI dan Pemohon VIII yang masih bekerja berpotensi dirugikan karena tidak bisa mengambil manfaat pensiun secara lump sum saat pensiun nanti. Sementara itu, Pemohon VII yang telah pensiun sejak 1 Desember 2024 sudah benar-benar dirugikan karena tidak menerima hak pensiun lump sum hingga saat ini.
Dalam persidangan perdana yang dilaksanakan di MK, Rabu (24/9/2025), kuasa hukum para Pemohon, Zen Mutowali menegaskan bahwa terdapat perbedaan mendasar antara program jaminan pensiun publik yang bersifat wajib (mandatory) dengan dana pensiun swasta yang bersifat pelengkap (complement). Menurutnya, aturan yang berlaku saat ini menimbulkan kerugian bagi pekerja karena membatasi hak peserta dana pensiun swasta untuk menerima manfaat pensiun secara sekaligus (lump sum).
“Keberlakuan objek Permohonan tersebut di atas merupakan aturan yang memiliki kesamaan substansi dan menyebabkan kerugian atau potensi kerugian hak konstitusional Para Pemohon karena Para Pemohon tidak mendapatkan manfaat pensiun secara sekaligus (lump sum) padahal manfaat pensiun tersebut bersifat tambahan (complement) yang sejak awal kepesertaan merupakan pilihan sukarela para Pemohon sebagai pekerja dan merupakan hak milik para Pemohon sebagai individu warga negara yang tidak boleh dikurangi oleh negara,” ujarnya dalam sidang.
Selain itu, pemohon juga menilai ketentuan Pasal 164 ayat (1) huruf d dan Pasal 164 ayat (2) UU P2SK yang membatasi pencairan manfaat pensiun maksimal 20 persen sekaligus, bertentangan dengan prinsip perlindungan hak warga negara sebagaimana dijamin UUD 1945.
Oleh karena itu, para Pemohon dalam petitum meminta MK menyatakan frasa “harus dilakukan secara berkala” dalam Pasal 161 ayat (2) UU P2SK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pembayaran Manfaat Pensiun bagi Peserta, Janda/Duda, atau anak dalam program pensiun swasta yang bersifat pelengkap (complement) dapat dilakukan secara berkala atau sekaligus berdasarkan pilihan Peserta, Janda/Duda, atau anak”.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.
Baca selengkapnya:
Permohonan Perkara Nomor 164/PUU-XXIII/2025
Source: Laman Mahkamah Konstitusi
