Rumah Dirampas Mafia Tanah, Aturan Peralihan Hak Milik Tanah Diuji
JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana perkara uji materiil Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada Rabu (27/8/2025). Sidang Perkara Nomor 142/PUU-XXIII/2025 itu dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah.
Permohonan diajukan oleh Ong Sing Tjwan, seorang warga negara Indonesia, yang merasa hak konstitusionalnya sebagaimana dijamin UUD 1945 dirugikan dengan berlakunya pasal tersebut. Pemohon menilai Pasal 20 ayat (2) UUPA multitafsir, tidak menjamin kepastian hukum, serta tidak memuat ancaman pidana bagi pihak yang melanggarnya. Pasal 20 ayat (2) UUPA menyatakan, “(2) Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”.
Dalam sidang tersebut, Pho Iwan Salomo selaku kuasa Pemohon menyampaikan Pasal 20 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria telah multitafsir, sangat sederhana dan tidak bisa menjamin adanya kepastian hukum karena tidak adanya ancaman pidana bagi pihak yang melanggar.
“Beberapa pasal a quo itu membuat mafia hukum dan mafia tanah semakin merajalela bahkan berani melakukan hal yang sangat tercela di hadapan aparat kepolisian. Rumah milik Pemohon di Semarang telah dihuni lebih dari 50 tahun dan memiliki sertifikat hak milik atas namanya, dirampas oleh oknum tanpa dasar hukum yang jelas. Ia juga mengaku tidak pernah menjadi pihak dalam perkara di Pengadilan Negeri Semarang, namun asetnya tetap dieksekusi dengan pengawalan aparat kepolisian,”ujarnya.
Menurutnya Pasal 20 ayat (2) UUPA tidak dapat melindungi hak Pemohon yang dijamin oleh Undang-Undang. Ia meminta MK menilai ulang norma tersebut dan memberikan kepastian hukum yang lebih kuat dalam perlindungan hak atas tanah. pemohon berargumen bahwa Pasal 20 ayat (2) UUPA bertentangan dengan Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Pemohon berpendapat, tanpa adanya sanksi tegas, pasal tersebut membuka ruang praktik mafia tanah dan melemahkan perlindungan hak warga negara.
Menanggapi permohonan Pemohon Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyarankan Pemohon untuk melihat Peraturan MK terbaru yakni PMK 7 Tahun 2025. “Ini PMK baru supaya jadi pegangan nanti,”ujar Daniel. Selain itu, ia juga menyarankan permohonan agar dielaborasi lebih lanjut.
Menurut Daniel, dalam permohonan agar mencantumkan lembaran negara baik dalam perihal maupun petitum. “Tetap dicantumkan karena itu merupakan dasar berlaku undang-undang maupun penjelasannya,” imbuhnya.
Di akhir persidangan Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari untuk Pemohon memperbaiki permohonannya. Adapun perbaikan permohonan paling lambat diterima MK pada 9 September 2025. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi
