Menyoal Kategori Debitur Cidera Janji dan Pihak yang Berhak Lakukan Lelang dalam UU Hak Tanggungan

JAKARTA, HUMAS MKRI – Tridjojo Tirta (Pemohon I) dan Kurniawan Sugiarto (Pemohon II) yang berprofesi sebagai karyawan swasta mengujikan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UU Hak Tanggungan) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para Pemohon Perkara Nomor 97/PUU-XXIII/2025 ini mendalilkan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sidang Pemeriksaan Pendahuluan untuk memeriksa permohonan digelar pada Kamis (19/6/2025) dengan dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo bersama dengan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah di Ruang Sidang Pleno MK.
Pasal 6 UU Hak Tanggungan menyatakan, “Apabila Debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.” Menurut para Pemohon, norma tersebut memberikan wewenang yang bertentangan dengan UUD 1945 kepada Kreditur untuk menafsirkan siapa yang disebut debitur yang cidera janji dan melaksanakan penjualan lelang, tanpa mempelajari dan meneliti objek hak tanggungan dimiliki dan dikuasai oleh siapa.
Lalu Zulkifli selaku kuasa hukum para Pemohon dalam persidangan menyebutkan bahwa keberadaan norma Pasal 6 UU Hak Tanggungan telah memberikan kewenangan berlebihan dan minim pertimbangan hukum, yang dapat disalahgunakan dengan sangat mudah dan cepat. Bahkan hal ini dapat menjadi dalil untuk mengambil harta milik orang lain secara lelang dan eksekusi, dengan "legalitas" yang diciptakan melalui konspirasi antara pihak debitur, kreditur, oknum Hakim dan Ketua Pengadilan Negeri, Balai Lelang Negara serta aparat Kepolisian sebagaimana yang dialami para Pemohon.
Pada kasus konkret, Pemohon I memiliki tanah dan bangunan yang diperoleh melalui jual beli berdasarkan Akta Pengikatan Jual Beli yang merupakan subjek hukum yang dilindungi oleh Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Namun dengan keberlakuan Pasal 6 UU Hak Tanggungan, terdapat kewenangan tak terbatas tanpa melihat fakta hukum yang lain di atas tanah dan bangunan milik Pemohon yang telah dijadikan objek konspirasi hak tanggungan dan lelang yang dilakukan oleh Debitur, Kreditur, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta V, Pemenang dan Pembeli Lelang, dan oknum/hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang saat ini sudah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung RI.
Sementara itu, Pemohon II merupakan pemilik tanah dengan Sertipikat Hak Milik (SHM) atas nama Bapak Kandung Pemohon. Namun SHM-nya telah dipinjam dan dijadikan sebagai hak tanggungan kepada Bank oleh pihak lain. Dalam hal ini, pihak Bank sebagai kreditur hanya mengacu pada ketentuan Pasal 6 UU Hak Tanggungan, padahal tanah milik Pemohon dikuasai hingga saat ini oleh Pemohon. Bahkan dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 123/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Tim, telah dinyatakan Bapak Kandung Pemohon tidak pernah meminjam uang di Bank. Akan tetapi akibat keberadaan norma tersebut, SHM milik Pemohon masih ditahan dengan sewenang-wenang oleh pihak Bank hingga saat ini.
Menurut para Pemohon, keberadaan norma Pasal 6 UU Hak Tanggungan tidak memiliki pijakan yang baik sehingga beralasan hukum bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan norma Pasal 6 UU Hak Tanggungan bertentangan dengan norma Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 karena mengandung ketidakadilan dan ketidakpastian hukum.
“Atas permohonan tersebut, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa pihak yang menguasai fisik obyek hak tanggungan telah melakukan perbuatan melawan hukum atau telah melakukan cidera janji,” ucap Zulkifli membacakan petitum permohonan para Pemohon.
Kerugian Konstitusional
Menanggapi permohonan ini Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memberikan catatan soal sistematika permohonan yang masih perlu penyempurnaan, mulai dari identitas, kewenangan mahkamah, kedudukan hukum para Pemohon yang juga dapat disertai perkara konkret sebagai gerbang awal dari kerugian konstitusional para Pemohon. “Namun dalam kerugian konstitusional ini, belum ada pertentangannya dengan landasan pengujian dalam UUD NRI Tahun 1945. Selanjutnya perlu penjabaran pada alasan permohonan terkait argumentasi berupa teori dan asas serta dampak dari keberlakuan norma yang seandainya diubah atau pemaknaannya oleh Mahkamah,” jelas Hakim Konstitusi Daniel.
Kemudian Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menasihati para Pemohon agar mencermati Putusan MK Nomor 21/PUU-XVIII/2020. Putusan ini menjelaskan prinsip hak tanggungan yang dapat saja beririsan dengan pokok permohonan yang dijabarkan pada permohonan ini.
Sedangkan Ketua MK Suhartoyo menyebutkan agar para Pemohon mencermati Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021) dan laman MK yang memuat permohonan terdahulu yang telah dikabulkan. “Hanya memang ini permohonannya perlu ditambah agar tidak terlalu sumir, jadi termasuk putusan MK yang telah ada sebelumnya. Bagaimana berkaitan dengan konstitusionalitas norma ini, bahkan pada Putusan Nomor 21/PUU-XVIII/2020 sudah dijelaskan norma ini berlaku umum,” terang Ketua MK Suhartoyo.
Pada akhir persidangan, Ketua MK Suhartoyo menyebutkan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Naskah perbaikan permohonan dapat diserahkan ke Kepaniteraan MK selambat-lambatnya pada Rabu, 2 Juli 2025. Selanjutnya Pemohon akan diinformasikan untuk sidang kedua dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan Pemohon.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: N. Rosi.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.
Baca selengkapnya:
Permohonan Perkara Nomor 97/PUU-XXIII/2025
Source: Laman Mahkamah Konstitusi