Peran Kementerian Hukum dan HAM sebagai "Central Authority" dalam Proses Ekstradisi

JAKARTA, HUMAS MKRI –Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi pada Selasa (17/6/2025). Sidang keenam dari Perkara Nomor 180/PUU-XXII/2024 ini beragendakan mendengarkan keterangan Saksi dan Ahli Pemohon serta Pihak Terkait dari KPK dan Kepolisian. Sebelumnya, para jaksa aktif, yakni Olivia Sembiring (Pemohon I), Ariawan Agustiartono (Pemohon II), Rudi Pradisetia Sudiradja (Pemohon III), Muh. Ibnu Fajar Rahim (Pemohon IV), dan Yan Aswarih (Pemohon V) tercatat sebagai Pemohon perkara ini. Pemohon mengujikan Pasal 21, Pasal 22 ayat (2), Pasal 23, Pasal 24, Pasal 33 ayat (2), Pasal 35 ayat (2) huruf b, Pasal 36 ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 40 ayat (1), Pasal 44, Penjelasan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi (UU Ekstradisi) dan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Pidana (UU Bantuan Pidana).

Asep Guntur Rahayu dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku Pihak Terkait memberikan keterangan bahwa Direktorat Otoritas Penegak Hukum Internasional (OPHI) pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum pada Kementerian Hukum dan HAM RI dalam perannya sebagai Central Authority telah memberikan bantuan kepada KPK untuk mengatasi beberapa tantangan dalam proses pemenuhan Mutual Legal Assistance (MLA)/Ekstradisi. 

Bahwa Central Authority berupaya memfasilitasi permintaan MLA dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi lintas negara yang sangat krusial. Utamanya dalam menjembatani komunikasi dan negosiasi dengan otoritas pusat negara lain. Selain itu, penunjukan Central Authority perlu untuk memastikan adanya satu pintu masuk yang jelas untuk permintaan bantuan hukum dari negara lain, sehingga prosesnya lebih terkoordinasi dan efisien.

Misalnya, dalam penyelenggaraan rapat koordinasi guna memperlancar komunikasi dan menyamakan persepsi antara Otoritas Pusat dan Otoritas Kompeten di kedua negara mengenai sistem hukum dan prosedur yang harus dilakukan. Termasuk pula dalam hal memberikan bantuan sumber daya berupa biaya dan tenaga kerja serta menyusun perjanjian bilateral mengenai MLA dengan negara lain untuk mendukung permintaan MLA.

“Berdasarkan statistik permintaan MLA dan Ekstradisi yang dilakukan KPK bersama dengan Direktorat OPHI sebagai otoritas pusat, selama ini Direktorat OPHI telah memfasilitasi dan mendukung KPK dalam permintaan MLA/Ekstradisi tersebut dengan baik dan tidak memiliki pertimbangan yang memberatkan untuk Direktorat OPHI pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum RI selaku Otoritas Pusat (central authority),” terang Guntur.

Peran Strategis

Pada kesempatan ini, Victor T. Sihombing dari Kepolisian Republik Indonesia yang juga hadir sebagai Pihak Terkait dalam perkara ini memberikan keterangan secara langsung di hadapan para hakim konstitusi. Bahwa keberadaan Otoritas Pusat memiliki peran strategis dalam memastikan tidak terjadinya tumpang tindih kewenangan, kompetisi sektoral, atau konflik kepentingan antarlembaga penegak hukum. Sehingga, fungsi koordinasi dan fasilitasi dapat berjalan secara netral, profesional, dan akuntabel.

Di samping itu, sambung Victor, Otoritas Pusat juga bertindak sebagai penghubung komunikasi dan penjamin keabsahan dokumen permintaan antara Indonesia dan negara mitra. Otoritas Pusat diberi wewenang untuk mengoordinasikan pelaksanaan permintaan dengan seluruh institusi penegak hukum terkait, termasuk Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan lembaga lain yang memiliki kewenangan substantif sesuai dengan ruang lingkup kasus.

Penempatan kewenangan Otoritas Pusat pada Menteri Kehakiman sebagai bentuk penyeimbang dalam hubungan antara hukum nasional dan kerja sama internasional. Sebaliknya, apabila Otoritas Pusat berada di tangan aparat penegak hukum karena dinilai bersentuhan langsung dengan perkara, hal demikian menurut Pihak Terkait tidak tepat, karena berpotensi menimbulkan konsentrasi kekuasaan yang tidak seimbang dalam satu lembaga. Penempatan fungsi Otoritas Pusat di luar lembaga penegak hukum tersebut merupakan wujud dari prinsip check and balances dalam sistem ketatanegaraan.

“Meskipun Polri tidak ditetapkan sebagai Otoritas Pusat, Polri tetap memiliki peran yang sangat strategis dan substansial dalam pelaksanaan teknis permintaan tersebut. Khususnya dalam hal pelacakan keberadaan subjek hukum, penangkapan, pengamanan barang bukti, serta penyusunan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), yang menjadi bagian penting dari dokumen pendukung permintaan ekstradisi maupun MLA. Dengan demikian, posisi Polri tetap krusial dalam mendukung keberhasilan kerja sama internasional di bidang penegakan hukum. Polri menyatakan tidak keberatan terhadap pengaturan tersebut, karena secara kelembagaan Polri memahami bahwa peran Otoritas Pusat bersifat administratif dan koordinatif dalam hubungan antarnegara, sedangkan Polri merupakan lembaga penegak hukum yang berfungsi sebagai instansi teknis penyidik dan pelaksana proses hukum,” jelas Victor.

Ditentukan oleh Presiden

Sementara itu, Romli Atmasasmita selaku Ahli Presiden menyatakan bahwa objek suatu perjanjian bilateral dan multilateral bersifat politik, sekalipun dalam implementasi perjanjian tersebut dalam lingkup nasional yang merupakan kelanjutan dari penegakan hukum. Bahwa negosiasi suatu perjanjian memiliki karakter yang bersifat politik dengan kekuatan bargaining-position negara pihak (state-party) yang lebih besar dari kepentingan penegakan hukum semata-mata.

Atas dasar kenyataan praktik ini, mulai dari penyusunan draf konvensi tentang Kejahatan Transnasional/Internasional hingga pada implementasi ekstradisi, bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan pemindahan narapidana dipastikan masing-masing negara pihak yang berkepentingan berpegang teguh dan mengutamakan/mendahulukan prinsip state-sovereignty (kedaulatan negara) sebelum memasuki pembahasan norma perjanjian antara negara pihak.

Berdasarkan pengalaman ahli dalam birokrasi Kementerian Hukum dan HAM disebutkan bwah dalam negosiasi draft perjanjian tentang UNCAC dan MLA, diperoleh kesimpulan, persetujuan negara pihak atas suatu perjanjian ditentukan oleh Presiden sebagai Kepala Negara yang dilaksanakan oleh Kementerian Luar Negeri sebagai lembaga negara terdepan dalam berhubungan dengan negara lain.

“Kewenangan menetapkan persetujuan atas draft perjanjian ekstradisi dan bantuan timbal balik dalam masalah pidana atau objek perjanjian lainnya, terletak di bawah wewenang penuh Presiden sebagai Kepala Negara/Pemerintahan. Satu-satunya lembaga negara front terdepan dalam hubungan internasional adalah Kementerian Luar Negeri dengan koordinasi kementerian teknis lainnya seperti Kementerian Hukum, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian Negara,” terang Romli yang merupakan ahli hukum internasional dari Universitas Padjajaran secara daring.

Ketentuan Hukum Internasional

Berikutnya Ahli Presiden Harkristuti Harkrisnowo selaku Ketua Dewan Guru Besar Universitas Indonesia menyebutkan ketentuan hukum internasional mengenai standar penugasan central authority (CA) yang termuat dalam United Nations Convention against Transnational Organized Crime and the Protocols Thereto 2004 (UNTOC). Di dalam UNTOC tidak menjadikan institusi penegak hukum sebagai pakem yang ditugaskan sebaga CA. UNTOC hanya mendeskripsikan institusi yang dapat menjadi CA, yakni institusi yang memiliki tanggung jawab dan kewenangan untuk menerima permohonan MLA untuk kemudian dieksekusi atau ditrasmisikan ke competent authorities; memastikan eksekusi/transmisi berjalan cepat dan patut; dan permohonan MLA dan komunikasi terkait disampaikan melalui CA yang ditunjuk oleh negara pihak.

“Berdasarkan standar internasional, tidak ada yang mengamanahkan agar CA harus ditugaskan kepada institusi penegak hukum maupun institusi yang memiliki fungsi ajudikasi. Oleh karenanya, anggapan yang menyatakan tugas CA harus diemban oleh institusi penegak hukum karena Kemenkum tidak memiliki fungsi penegakan hukum atau ajudikasi menjadi tidak berdasar,” jelas Harkristuti.

Kerja Sama dan Keadilan

Saksi Presiden, Estralita Dorotea Aler dalam keterangannya menceritakan pemenuhan MLA dari pemerintah Australia pada kasus pidana pembunuhan anaknya. Estralita menceritakan dirinya pada 7 Oktober 2016 di Surabaya memberikan keterangan kepada Polri dengan didampingi Kepolisian Australia, yang akan digunakan untuk disampaikan di Pengadilan Australia.

“Kerja sama MLA itu membantu keluarga kami memperoleh keadilan karena Jhon akhirnya terbukti bersalah karena menyebabkan hilangnya nyawa Novi. Dan setelah divonis 15 tahun penjara oleh Pengadilan Australia pada 2019, Jhon meninggal dunia pada 21 Oktober 2020 di usia 73 tahun di penjara Australia,” cerita Estralita.

Dalam Sidang Pendahuluan pada Selasa (24/12/2024) lalu, para Pemohon menyatakan Pemohon I dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab, sering mengurus permintaan ekstradiksi incoming dan outgoing. Sehingga pihaknya mengalami hambatan dan kendala akibat berlakunya ketentuan durasi waktu pemrosesan permintaan bantuan hukum timbal balik. Dalam kasus konkret, Pemohon I diminta untuk memfasilitasi satuan kerja teknis dalam penanganan perkara tindak pidana khusus, yakni mengidentifikasi bukti berupa bank notes yang diduga mata uang dolar Amerika Serikat atas kepemilikan uang senilai 3,3 juta USD dari Argentina. Merujuk pada Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Penanganan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana disebutkan waktu pemrosesan permintaan bantuan timbal balik dimulai dari tahap penerimaan permohonan hingga tahap pemenuhan bantuan dan pemberian umpan balik.

Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan pasal-pasal tersebut menempatkan Menteri Kehakiman sebagai central authority dalam pelaksanaan ekstradisi. Hal ini dinilai para Pemohon bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 17 ayat (3), Pasal 24 ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Mestinya, ekstradisi dan bantuan timbal balik dalam masalah pidana menjadi urusan penegakan hukum yang menjadi domain badan lainnya yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman seperti Kejaksaan. Akibatnya, norma ini secara konstruksi menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak sesuai dengan negara hukum karena pada saat ini nomenklatur Menteri Kehakiman Nomor 1/1979 dan Menteri Hukum dan HAM dalam UU 1/2006 telah bertransformasi menjadi tiga kementerian, yakni Kementerian Hukum, Kementerian HAM, dan Kementerian Imigrasi dan Permasyarakatan. Dengan demikian, telah menimbulkan terjadinya disfungsi urusan dan menimbulkan ketidakjelasan peletakan kewenangan otoritas pusat dalam ekstradisi maupun bantuan timbal balik dalam masalah pidana.

Dalam petitumnya, para Pemohon meminta pasal-pasal yang diuji bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon juga meminta agar MK menyatakan Pasal 21 UU Ekstradisi bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Dalam hal terhadap orang yang bersangkutan dilakukan penahanan maka orang tersebut dibebaskan oleh Jaksa Agung jika dalam waktu yang dianggap cukup sejak tanggal penahanan, Presiden melalui Jaksa Agung tidak menerima permintaan ekstradisi berserta dokumen sebagaimana tersebut dalam Pasal 22 dari negara Peminta”.(*)

Penulis : Sri Pujianti

Penulis: Lulu Anjarsari P.

Humas: Raisa Ayuditha M.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi