MK: PTDH ASN Meskipun Sudah Dipenjara Bukan Sanksi Ganda

JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Pemohon Perkara Nomor 36/PUU-XXIII/2025 mengenai pengujian materi Pasal 52 ayat (3) huruf i dan ayat (4) sepanjang frasa ‘huruf i’ Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Mahkamah menegaskan, pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) sebagai pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) meskipun telah menjalani hukuman pidana penjara/kurungan bukan merupakan sanksi ganda (double jeopardy/double punishment) atas kesalahan yang sama dengan hukuman pidananya.

“Pemberhentian sebagai pegawai ASN merupakan konsekuensi dari putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sehingga PTDH tersebut merupakan sanksi lanjutan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Hal tersebut bukan sanksi ganda untuk satu perbuatan yang dilakukan sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Pemohon,” ujar Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah membacakan pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 36/PUU-XXIII/2025 pada Kamis (5/6/2025) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.

Guntur menjelaskan, tidak tepat ketentuan norma Pasal 52 ayat (3) huruf i dan ayat (4) sepanjang frasa huruf i UU 20/2023 ditambahkan persyaratan dapat diberlakukan setelah dilakukan evaluasi individual dan rehabilitasi administratif sebagaimana yang diinginkan Pemohon. Berkenaan dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai pegawai ASN melekat nilai dasar, kode etik, dan kode perilaku yang selalu dijunjung tinggi untuk menjaga kehormatan sebagai penyelenggara negara yang merupakan instrumen mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukan UUD NRI Tahun 1945.

Guntur pun menyinggung Putusan MK Nomor 87/PUU-XVI/2018 yang diucapkan pada 25 April 2019 silam terhadap pengujian Pasal 87 ayat (4) huruf b UU 5/2014, di mana UU 20/2023 ialah UU ASN yang menggantikan UU 5/2014. Dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah tersebut, Mahkamah telah menegaskan seorang PNS diberhentikan karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana yang ada hubungannya dengan jabatan, hal demikian adalah wajar karena dengan melakukan kejahatan atau tindakan pidana maka seorang PNS telah menyalahgunakan atau bahkan mengkhianati jabatan yang dipercayakan kepadanya untuk diemban sebagai pegawai ASN.

Mahkamah juga menegaskan, seorang PNS yang melakukan tindak pidana yang ada hubungannya dengan jabatannya adalah sama halnya telah mengkhianati jabatan yang dipercayakan kepadanya. Hal tersebut secara langsung atau tidak langsung telah mengkhianati rakyat karena perbuatan demikian telah menghambat upaya mewujudkan cita-cita atau tujuan bernegara yang seharusnya menjadi acuan utama bagi seorang PNS sebagai pegawai ASN dalam menjalankan tugas-tugasnya, baik tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, ataupun tugas pembangunan tertentu.

Karena itu, persyaratan pemberlakuan norma Pasal 52 ayat (3) huruf i dan ayat (4) sepanjang frasa huruf i UU 20/2023 yang esensinya sama dengan norma Pasal 87 ayat (4) huruf b UU 5/2014 adalah permohonan Pemohon yang tidak tepat untuk dipertimbangkan. Sebab, hal tersebut justru akan melemahkan hakikat penjatuhan sanksi yang berat berupa pemberhentian tidak dengan hormat bagi pegawai ASN yang melakukan tindak pidana yang terbukti menyalahgunakan jabatannya atau setidak-tidaknya ada hubungannya dengan jabatannya.

“Hingga saat ini Mahkamah belum memiliki alasan untuk bergeser dari pendirian sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XVI/2018 maka pertimbangan hukum berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 87 ayat (4) huruf b UU 5/2014 mutatis mutandis berlaku pula untuk pertimbangan hukum dalam mempertimbangkan perkara a quo, khususnya dalam menilai inkonstitusionalitas norma Pasal 52 ayat (3) huruf i dan ayat (4) sepanjang frasa “huruf i” UU 20/2023 sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum,” jelas Guntur.


Baca juga:
Mantan Pegawai BPS Uji UU ASN Soal Ketentuan Pemberhentian PNS Jadi Terpidana
Mantan Pegawai BPS Perbaiki Permohonan Uji UU ASN


Sebagai informasi, permohonan ini diajukan Mantan PNS pada Badan Pusat Statistik (BPS) Lucky Permana. Pada pokoknya Pemohon mempersoalkan pemberhentian tidak dengan hormat tidak atas permintaan sendiri bagi pegawai ASN yang dilakukan karena dipidana dengan pidana penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

Menurut Pemohon, akibat berlakunya norma-norma yang diuji itu hak konstitusonalnya dirugikan karena dirinya diberhentikan dengan tidak hormat sebagai ASN di BPS. Pasal 52 ayat (3) huruf i dan ayat (4) berbunyi, “Pemberhentian tidak atas permintaan sendiri bagi Pegawai ASN dilakukan apabila: i. dipidana dengan pidana penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana yang ada hubungannya dengan jabatan; dan/atau (4) Pemberhentian Pegawai ASN karena sebab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf g, huruf i, dan huruf j dikategorikan sebagai pemberhentian tidak dengan hormat.”

Pemohon telah dijatuhi hukuman pidana penjara dan denda berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atas dasar pertimbangan melakukan tindak pidana kealpaan yaitu karena tidak teliti dalam menjalankan tugasnya sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Pertimbangan Putusan Pengadilan menyebutkan Pemohon sebagai PPK tidak teliti dalam mengelola pelaksanaan proyek pengadaan barang yang harus dilaksanakan sehingga berdampak pada kerugian uang negara serta terbukti tidak melakukan pengawasan secara baik dan bentar antara lain tidak melakukan pemeriksaan lokasi serta tidak mengetahui pekerjaan telah di sub kontrakan kepada pihak lain.

Kemudian amar Putusan Pengadilan dimaksud menjatuhkan pidana penjara selama dua tahun enam bulan dan pidana denda sebesar Rp 250 juta dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar maka diganti pidana kurungan selama enam bulan. Pemohon lantas diberhentikan tidak dengan hormat melalui Surat Keputusan Pemberhentian bertanggal 29 April 2019 yang dikeluarkan Kepala BPS karena dinyatakan melanggar UU ASN mengenai ketentuan pemberhentian PNS akibat telah dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Menurut Pemohon, keputusan pemberhentian tidak dengan hormat Pemohon dilakukan tanpa adanya penilaian individual terhadap aspek-aspek lainnya seperti rekam jejak kinerja, kompetensi, kontribusi, dedikasi, potensi rehabilitasi, masa kerja, tingkat kesalahan, dan/atau aspek-aspek lain yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam menentukan sanksi administratif. Pasal 52 ayat (3) huruf i tidak memberikan ruang bagi penilaian individual untuk menilai kelayakan diberhentikan atau tidak diberhentikan dan rehabilitasi administratif bagi PNS/ASN yang telah menjalani hukuman pidananya sehingga secara permanen menghilangkan hak konstitusional Pemohon untuk bekerja kembali di sektor pemerintahan.

Dia pun membandingkan ketentuan di Amerika Serikat yang menerapkan Ban the Box policy yang melarang pemberi kerja sektor publik dan swasta untuk menanyakan riwayat kriminal pada tahap awal perekrutan. Dalam melakukan penilaian individual, pemberi kerja harus mempertimbangkan faktor-faktor sifat dan beratnya pelanggaran, waktu yang telah berlalu sejak pelanggaran atau hukuman selesai, dan sifat pekerjaan yang dipegang atau dicari.

Karena itu, dalam petitumnya Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 52 ayat (3) huruf i dan ayat (4) sepanjang frasa "huruf i" UU ASN bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai pemberhentian tidak dengan hormat hanya dapat dilakukan setelah adanya penilaian individual dan rehabilitasi administratif bagi ASN yang telah menjalani hukuman pidana.(*)

Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan

Source: Laman Mahkamah Konstitusi