Uji UU Pengadilan Pajak Ditolak, MK Ingatkan Rampungkan “One Roof System”

JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan Pemohon Perkara Nomor 25/PUU-XXIII/2025 mengenai pengujian materi Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Zico Leonard Djagardo Simanjuntak selaku Pemohon mempersoalkan adanya syarat lain yang ditetapkan menteri keuangan yang harus dipenuhi untuk menjadi kuasa hukum di pengadilan pajak.

“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan pada Selasa (27/5/2025) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.

Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dalam pertimbangan hukum Mahkamah menyebutkan, permohonan Pemohon pada dasarnya secara substansi merupakan permohonan yang prematur. Sebab, permohonan Pemohon mendahului proses integrasi pengadilan pajak ke dalam one roof system sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang pembinaannya, baik mengenai administrasi peradilan maupun administrasi umum (organisasi, kelembagaan, dan keuangan) berada di bawah Mahkamah Agung (MA).

Merujuk pertimbangan Putusan MK 63/PUU-XV/2017, Putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023, dan pertimbangan hukum dalam putusan ini, norma Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3) UU 14/2002 yang secara substansial mengatur persyaratan untuk menjadi kuasa hukum pada Pengadilan Pajak dan secara teknis administratif pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 184/PMK.01/2017, serta pengaturan dan keberlakuannya masih dalam rentang waktu transformasi atau sekuens waktu pengintegrasian dalam kerangka one roof system yang diharapkan selesai pada 31 Desember 2026. Pembentuk undang-undang diberikan kesempatan melakukan proses pengintegrasian dimaksud termasuk menyusun hukum acara yang antara lain dapat mempertimbangkan materi permohonan Pemohon sesuai dengan batas waktu dalam Putusan MK 26/PUU-XXI/2023.

“Proses pengintegrasian ini dilakukan secara komprehensif, termasuk menyangkut pengaturan mengenai syarat untuk menjadi kuasa hukum pada Pengadilan Pajak sebagai bagian dari administrasi peradilan pajak untuk memastikan representasi yang berkeadilan bagi para pencari keadilan (justiciabelen) dalam rangka penegakan hukum di bidang perpajakan,” jelas Guntur.

Pemohon mendalilkan mengenai anggapan inkonstitusionalitas Pasal 34 ayat (3) UU 14/2002 dengan alasan norma tersebut memberikan pengecualian terhadap keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua tidak memerlukan persyaratan sebagaimana kuasa hukum atau advokat jika bertindak sebagai pendamping atau mewakili wajib pajak di Pengadilan Pajak. Menurut Pemohon, pasal yang diuji ini telah melanggar hak Pemohon untuk mengembangkan diri dan menimbulkan ketidakadilan, bersifat diskriminatif, serta merugikan advokat termasuk Pemohon, karena advokat yang telah memenuhi seluruh persyaratan formal meliputi pendidikan, kelulusan ujian, dan pendaftaran pada organisasi advokat tidak mendapatkan keistimewaan sebagaimana hubungan keluarga yang diatur dalam ketentuan norma Pasal 34 ayat (3) UU 14/2002.

Guntur menjelaskan, berkenaan dengan dalil Pemohon tersebut, terdapat pengecualian terhadap pengaturan syarat kuasa hukum dalam norma Pasal 34 ayat (3) UU 14/2002, persyaratan bagi pihak-pihak tertentu dapat dikesampingkan sebagai suatu pengecualian yang diperkenankan. Artinya, persyaratan tersebut tidak diberlakukan terhadap pihak-pihak yang diatur dalam Pasal 34 ayat (3) UU 14/2002.

Dalam hal ini, kuasa hukum yang dapat mendampingi atau mewakili pemohon banding atau penggugat di Pengadilan Pak dapat dibagi menjadi dua, yaitu kuasa hukum yang wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 34 ayat (2) UU 14/2002 dan Pasal 2 PMK 184/PMK.01/2017 dan kuasa hukum yang tidak wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 34 ayat (2) UU 14/2002 dan Pasal 2 PMK 184/PMK.01/2017, yaitu kuasa hukum dari pemohon banding atau penggugat yang berasal dari keluarga sedarah atau semenda sampai dengna derajat kedua, pegawai, atau pengampunya, sebagaimana diatur Pasal 34 ayat (3) UU 14/2002.

Berdasarkan Pasal 34 ayat (3) UU 14/2002 hubungan keluarga sedarah atau semenda dapat menjadi kuasa hukum dalam sengketa pajak karena UU a quo mengatur kuasa hukum tidak harus berasal dari profesi tertentu, seperti konsultan hukum atau advokat, tetapi juga dapat berasal dari anggota keluarga sedarah atau semenda dari wajib pajak. Hal ini bertujuan memberikan fleksibilitas kepada wajib pajak dalam memilih kuasa hukum yang dapat dipercaya, termasuk keluarga selama diberikan kuasa khusus sebagai kuasa hukum untuk mewakili kepentingan hukum wajib pajak.

Keberadaan norma dalam Pasal 34 ayat (3) UU a quo selain untuk memberikan akses kepada wajib pajak terhadap pengadilan dan keadilan (access to court and justice), juga untuk memberikan perlindungan tambahan bagi wajib pajak dengan catatan penting. Meskipun keluarga sedarah atau semenda dapat bertindak sebagai kuasa hukum di Pengadilan Pajak, mereka tetap harus memiliki pemahaman yang cukup tentang hukum acara yang berkaitan dengan sengketa pajak atau bekerja sama dengan pihak yang berkompeten untuk memastikan representasi yang efektif bagi kepentingan wajib pajak yang didampingi atau diwakilinya, sehingga kendatipun tidak memerlukan persyaratan sebagaimana persyaratan bagi kuasa hukum pada umumnya di Pengadilan Pajak, kuasa hukum keluarga dalam batas penalaran yang wajar diberikan kuasa semata-mata untuk melindungi kepentingan hukum wajib pajak.

“Pengadilan Pajak dapat meminta klarifikasi mengenai kapasitas atau kompetensi kuasa hukum termasuk jika kuasa hukum adalah anggota keluarga untuk memastikan proses persidangan berjalan sesuai hukum,” kata Guntur.


Baca juga:
Mempersoalkan Adanya Syarat Lain Untuk Jadi Kuasa Hukum Pengadilan Pajak
Pemohon Perbaiki Petitum Permohonan Uji UU Pengadilan Pajak


Sebagai informasi, Pasal 34 ayat (2) UU 14/2002 menyebutkan “Untuk menjadi kuasa hukum harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Warga Negara Indonesia; b. mempunyai pengetahuan yang luas dan keahlian tentang peraturan perundang-undangan perpajakan; c. persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri.” Sementara Pasal 34 ayat (3) UU 14/2022 berbunyi “Dalam hal kuasa hukum yang mendampingi atau mewakili pemohon banding atau penggugat adalah keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua, pegawai, atau pengampu, persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak diperlukan.”

Pemohon memohon Mahkamah untuk menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU 14/2002 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU 14/2002 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Untuk menjadi kuasa hukum harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Warga Negara Indonesia; b. Persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Advokat.” serta menyatakan Pasal 34 ayat (3) UU 14/2002 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pemohon menyampaikan prinsip-prinsip yang melekat pada advokat akan terancam apabila masih ada kekuasaan yang mengendalikan advokat tersebut, dalam hal ini kekuasaan eksekutif melalui menteri keuangan. Diaturnya persyaratan menjadi kuasa hukum dalam Peraturan Menteri Keuangan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dalam proses persidangan pada perkara perpajakan yang dapat menghambat independensi dan objektivitas dalam menjalankan tugasnya.(*)

Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina

Source: Laman Mahkamah Konstitusi