Pemohon Sebut UU TNI Lebih Cepat Disahkan karena Dorongan Presiden

JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang untuk Perkara Nomor 81/PUU-XXIII/2025 dengan agenda perbaikan permohonan pengujian formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945  pada Selasa (27/5/2025). Para Pemohon menyebut UU TNI dimaksud lebih cepat dibahas dan disahkan karena adanya dorongan dari Presiden.

“Kenapa undang-undang ini bisa lebih cepat untuk dibahas dan juga disahkan karena ada dorongan dari Presiden,” ujar Raden Violla Reininda Hafidz selaku kuasa hukum para Pemohon dalam sidang perbaikan permohonan di Ruang Sidang MK, Jakarta.

Violla mengatakan revisi UU TNI ini memang diinisiasi DPR untuk masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Namun, Presiden dalam hal ini berperan untuk mendorong agar Rancangan UU TNI tersebut disahkan.

“Presiden yang memiliki dorongan yang lebih tinggi agar undang-undang ini tetap disahkan,” tutur Violla.


Baca juga:
YLBHI, Imparsial, Hingga Kontras Sebut UU TNI Ilegal


Para Pemohon perkara ini ialah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) beserta perseorangan lainnya Inayah WD Rahman, Eva Nurcahyani, dan Fatiah Maulidiyanty. Menurut para Pemohon, UU TNI tersebut tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang sebagaimana diatur UUD NRI Tahun 1945.

Para Pemohon mengatakan, revisi UU TNI tidak terdaftar dalam prolegnas prioritas DPR RI Tahun 2025 serta tidak menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) prioritas pemerintah bahkan hingga 2029. Revisi UU TNI pun bukan carry over, karena syarat yang harus dipenuhi untuk menjadikan suatu RUU carry over adalah adanya kesepakatan antara DPR, presiden, dan/atau DPD untuk memasukkan kembali RUU ke dalam daftar prolegnas jangka menengah dan/atau prioritas tahunan. Sedangkan, tidak ada revisi UU TNI dalam Keputusan DPR yang berisikan 12 RUU carry over dalam prolegnas tahunan 2025 dan prolegnas 2025-2029.

Para Pemohon menuturkan, proses pembahasan revisi UU TNI sengaja menutup partisipasi publik, tidak transparan, dan tidak akuntabel sehingga menimbulkan kegagalan pembentukan hukum. Segala dokumen pembentukan revisi UU TNI mulai dari naskah akademik, daftar inventarisasi masalah (DIM), hingga undang-undang itu sendiri tidak dapat diakses oleh publik.

Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan pembentukan UU TNI tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-Undang menurut UUD 1945, menyatakan UU TNI tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, serta menyatakan UU TNI berlaku kembali. Sementara dalam provisinya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan UU TNI ditunda pemberlakuannya sampai dengan adanya putusan akhir Mahkamah Konstitusi serta memerintahkan presiden/DPR untuk tidak menerbitkan peraturan pelaksana baru maupun tidak mengeluarkan kebijakan dan/atau tindakan strategis yang berkaitan dengan pelaksanaan UU TNI baru ini.

Provisi tersebut diajukan karena menurut para Pemohon, setelah diundangkan implementasi terhadap UU TNI ini telah dijalankan oleh pemerintah maupun TNI. Misalnya, pada 1 Mei 2025, Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Muhammad Ali seharusnya telah memasuki masa pensiun, tetapi belum pensiun akibat keberlakuan Pasal 53 ayat (4) UU TNI. Kemudian pada 16 April 2025, Kepala Dinas Penerangan TNI Angkata Darat Brigjen TNI Wahyu Yudhayana mengeluarkan keterangan resmi yang menyatakan TNI-AD terlibat aktif dalam pengelolaan 71 dapur dalam program Makanan Bergizi Gratis (MBG) karena berlakunya Pasal 7 ayat (2) huruf b UU TNI.

Perkara ini disidangkan Majelis Panel Hakim yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah. Sebelum menutup persidangan, Suhartoyo menuturkan akan melaporkan sidang kepada hakim konstitusi lainnya melalui Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk menentukan sikap Mahkamah atas perkara dimaksud.(*)

Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.

Source: Laman Mahkamah Konstitusi