PNS Perwakilan RI di Luar Negeri Tidak Digaji, Kenapa?

JAKARTA, HUMAS MKRI – Sesuai dengan Surat Edaran Nomor 015690 tanggal 16 Oktober 1950 (SE 1950), dinyatakan selama tunjangan kediaman dibayarkan maka gaji di Indonesia tidak diberikan, karena sudah termaksud dalam tunjangan tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut, Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kementerian Luar Negeri yang ditugaskan pada Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri mendapatkan tunjangan yang di dalamnya sudah termasuk gaji dalam negeri. Demikian keterangan Pemerintah yang disampaikan Astera Primanto Bhakti selaku Direktur Jenderal Perbendaharaan dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia saat memberikan jawaban terkait pengujian ketentuan pembayaran gaji pokok dalam negeri lewat waktu.
Sebagaimana diketahui, para pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu) mengajukan uji materiil Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sidang permohonan Perkara 184/PUU-XXII/2024 ini dilaksanakan pada Senin (19/5/2025) dengan dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo beserta hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno MK.
“Pelaksanaan tugas pegawai di luar negeri telah melahirkan hak tunjangan kediaman dan saat bersamaan menghilangkan hak pegawai atas gaji dalam negeri, yang telah diberikan melalui tunjangan kediaman. Dengan tidak adanya keterkaitan permasalahan faktual yang dialami para Pemohon dengan konstitusionalitas dan keberlakuan norma yang diuji, maka para Pemohon tidak memenuhi unsur hubungan sebab akibat,” terang Astera.
Ketentuan Kedaluwarsa Hak Tagih Negara
Astera mengatakan permasalahan para Pemohon secara tidak langsung berkaitan dengan pengaturan ketentuan kedaluwarsa hak tagih negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perbendaharaan Negara. Di dalamnya disebutkan tentang pengaturan pemberian penghargaan dari pimpinan suatu kementerian atau lembaga (Kementerian Luar Negeri) sebagai pengguna anggaran dan memiliki kewenangan sebagai pejabat pembina kepegawaian.
Dalam pengurusan administrasi keuangan negara, pengaturan mengenai kedaluwarsa terhadap hak tagih kepada negara sangat diperlukan demi menjaga adanya kepastian hukum dan tertib administrasi. Dengan mempertimbangkan setiap pengeluaran negara harus dilakukan pengujian atas dokumen yang menjadi bukti terpenuhinya hak tagih. Timbulnya tagihan yang telah lampau juga akan berkaitan dengan validitas dokumen tagihan terhadap negara. Sesuai dengan peraturan mengenai kearsipan, dokumen pendukung telah dapat dimusnahkan setelah melewati kurun waktu tertentu untuk memenuhi kepastian hukum. Sehingga adanya ketentuan kedaluwarsa hak tagih kepada negara dimaksudkan untuk meminimalkan adanya ketidakpastian yang berpotensi pada timbulnya beban fiskal baru sebagai akibat munculnya tagihan di luar yang telah dialokasikan dalam APBN.
“Oleh karenanya, Pemerintah berpendapat bahwa kondisi yang dialami para Pemohon ini telah menerima tunjangan kediaman yang di dalamnya terdapat komponen pembayaran gaji dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam SE 1950 yang dikeluarkan oleh Kemenlu. Artinya tidak ada hak yang tidak diberikan oleh Pemerintah, dalam hal ini Kemenlu kepada para Pemohon. Para Pemohon telah memperoleh haknya melalui pembayaran tunjangan kediaman sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada Kemenlu pada saat itu berdasarkan SE 1950. Dengan demikian, Pemerintah memandang bahwa apabila para Pemohon telah diberikan gaji dalam negeri, sedangkan hal tersebut telah dibayarkan melalui pembayaran tunjangan kediaman, maka akan terjadi pengeluaran tambahan oleh negara atas pemberian penghargaan kepada Pemohon. Hal tersebut justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi pegawai yang ditempatkan di luar negeri,” terang Astera.
Pertanyaan Soal Tunjangan Kediaman
Atas keterangan Pemerintah ini, pertanyaan-pertanyaan muncul dari para hakim konstitusi, di antaranya dari Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah. Pada hakikatnya meminta kepada Pemerintah untuk memberikan penjelasan yang tegas antara tunjangan kediaman yang dibayarkan berdasarkan SE 1950 dengan munculnya kebijakan baru atas pembayaran (gaji) bagi pegawai Kemenlu di luar negeri pada Januari 2013 dengan nama Tunjangan Penghidupan Luar Negeri.
“Pembayaran sejak Januari 2013 ini alasan apa? Apakah karena alasan kedaluwarsa semata atau sebetulnya bukan alasan kedaluwarsa? Jadi, kalau kita melihat case-nya ini, jangan-jangan bukan alasan kedaluwarsa tetapi karena memang ada kebijakan baru, yang kemudian 2013 bisa diakomodir. Jadi ini perlu dijelaskan secara lebih rinci lagi, detail, terbuka saja sampaikan biar Mahkamah bisa melihat sebetulnya apakah ini wilayah kebijakan yang kemudian bisa diberikan penjelasannya,” tanya Hakim Konstitusi Guntur.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta penjelasan terkait dengan besaran tunjangan kediaman yang ditentukan oleh Kemenlu bagi pegawai yang menjadi perwakilan Indonesia di luar negeri. “Itu besarannya seperti apa dan bagaimana cara menentukan? Karena masing-masing negara mestinya berbeda, sesuai dengan kondisi daripada masing-masing negara itu. Apakah ada indikator tertentu untuk menentukan berapa besar tunjangan kediaman dimaksud?” sampai Hakim Konstitusi Enny.
Kemudian Ketua MK Suhartoyo meminta keterangan tambahan dari Pemerintah terkait dengan skema gaji pegawai yang menjadi perwakilan Indonesia di luar negeri. “Ketika ada komponen gaji yang kemudian terpisah atau jika itu kemudian tidak menyatu dan itu kemudian take homepay-nya seperti apa? Supaya kekhawatiran ada pembayaran double itu kemudian bisa terhindarkan,” jelas Ketua MK Suhartoyo.
Baca juga:
Pensiunan Kemlu Tuntut Pembayaran Gaji Pokok
Bertambah Pensiunan Kemlu Jadi Pemohon Soal Pembayaran Gaji Pokok
Pada Sidang Pendahuluan yang digelar Selasa (04/03/2025), para Pemohon mengajukan uji ketentuan pembayaran gaji pokok dalam negeri lewat waktu yang termuat pada ketentuan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbendaharaan Negara. Menurut para Pemohon pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28I ayat (4), dan Pasal 28I ayat (5) UUD NRI Tahun 1945.
Disebutkan bahwa penghentian pemberian gaji pokok (gaji dalam negeri) kepada pegawai negeri pada instansi pemerintah yakni Kementerian Luar Negeri diawali dengan penerbitan Surat Edaran (SE) Nomor 015690 tanggal 16 Oktober 1950. Aturan ini yang kemudian menjadi landasan bagi tidak dibayarkannya gaji pokok (gaji dalam negeri) para Pegawai Kementerian Luar Negeri. Pertimbangan penghentian tersebut berkaitan dengan terbatasnya persediaan devizen dan kebijakan tersebut diberlakukan sembari menunggu keputusan yang definitif.
Dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbendaharaan Negara bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang dimaknai: “diberlakukan terhadap gaji pokok dalam negeri pegawai negeri sipil yang ditugaskan ke Perwakilan RI di Luar Negeri.”
Baca selengkapnya Permohonan Perkara Nomor 184/PUU-XXII/2024
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: N. Rosi.
Humas: Fauzan.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi