Mahasiswa Minta Kewenangan Jaksa Agung Sebagai Pengacara Negara Dibatasi

JAKARTA, HUMAS MKRI – Aturan mengenai kewenangan jaksa agung sebagai pengacara negara diuji oleh tiga orang mahasiswa. Perkara Nomor 53/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh Alfonsus Salomo Rafel Sihombing, Mikhael Pandya Dewanata, dan Milha Niami Maulida. Ketiganya menguji Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman), Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU 16/2004), dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Kejaksaan (UU 11/2021).
Sidang Pendahuluan yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo ini digelar oleh Mahkamah Konstitusi pada Selasa (8/5/2025) di Ruang Sidang Pleno MK. Para Pemohon mempersoalkan sejumlah ketentuan yang dinilai membuka ruang penafsiran kewenangan kejaksaan secara berlebihan, khususnya dalam penyelesaian perkara di luar pengadilan. Pemohon menguji Pasal 60 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UU 11/2021 serta Pasal 30 ayat (2) UU 11/2021.
Pasal 60 ayat (1) UU 48 Tahun 2009 menyatakan, “Alternatif penyelesaian sengketa merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”. Sementara Pasal 18 ayat (1) UU 11/2021 menyatakan, “Jaksa Agung merupakan Penuntut Umum tertinggi dan pengacara negara di Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Kemudian Pasal 18 ayat (2) UU11/2021 menyatakan, “Jaksa Agung dengan kuasa khusus ataupun karena kedudukan dan jabatannya bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara, di bidang perdata dan tata usaha negara serta ketatanegaraan di semua lingkungan peradilan, baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintahan, maupun kepentingan umum”. Pasal 30 ayat (2) UU 11/2021 menyatakan, “Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah”.
Para Pemohon menyoroti ketentuan Pasal 60 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa atau beda pendapat dapat dilakukan melalui prosedur yang disepakati para pihak, termasuk konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Mereka menilai frasa tersebut tidak memiliki batasan yang tegas dan dapat mengaburkan batas antara proses peradilan dan non-peradilan.
Milha Niami Maulida selaku Pemohon menyampaikan bahwa kewenangan jaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (2) UU Kejaksaan dan penjelasannya, termasuk Pasal 18 ayat (2) UU 11/2021, hanya dibatasi oleh adanya surat kuasa khusus. Padahal menurutnya, ketentuan hukum seharusnya mengatur batasan kewenangan jaksa secara eksplisit sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) yang mengatur tugas jaksa di bidang pidana.
“Kewenangan Jaksa yang diatur di dalam Pasal 30 ayat (2) beserta penjelasannya dan angka 5 Penjelasan Umum Undang-Undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan dan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang No 11 tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan hanya memiliki satu batasan saja yaitu Surat Kuasa Khusus. Seharusnya, undang-undang mengatur batasan kewenangan itu tidak hanya dalam bentuk surat kuasa khusus, namun semestinya disebut secara jelas dan tegas di dalam bunyi pasal 30 ayat (2) sebagaimana batasan tugas dan wewenang jaksa di bidang pidana yang diatur di dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan,” ujar Milha.
Kemudian, Milha mengatakan, dengan tidak adanya batasan tugas dan wewenang tersebut, maka kewenangan kejaksaan dalam bidang perdata dan tata usaha negara, dapat ditafsirkan secara luas dan absolut baik oleh pemerintah maupun kejaksaan itu sendiri. Hal tersebut terbukti dalam pengaturan mengenai tugas dan kewenangan jaksa pengacara negara dalam Peraturan Presiden Nomor 15 tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 38 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia dan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia No. 7 Tahun 2021 Tentang Pedoman Pelaksanaan Penegakan Hukum, Bantuan Hukum Tindakan Hukum Lain, dan Pelayanan Hukum di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.
Pemohon menyebutkan berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) Perpres No 15 Tahun 2024, dapat disimpulkan bahwa Jaksa Pengacara Negara dapat berada pada posisi untuk membela penggugat maupun tergugat. Jaksa Pengacara Negara dapat mendampingi lembaga pemerintah, BUMN maupun BUMD, bahkan masyarakat yang sedang menghadapi persoalan hukum terutama dalam perkara perdata. Akan tetapi, apabila membaca ketentuan Pasal 18 ayat (2) UU 11 tahun 2021 dan ketentuan Pasal 24 ayat (2) Perpres No. 15 tahun 2024, ternyata kewenangan Jaksa Pengacara Negara tidak hanya mendampingi klien di dalam pengadilan, namun juga pendampingan di luar pengadilan.
Selain itu, sambung Milha, batasan lingkup bidang Jaksa Agung Muda di bidang perdata dan tata usaha negara yang diatur dalam Perpres No 15 Tahun 2024, sebagai bukti dari implikasi atas tidak adanya batasan yang secara tegas mengenai fungsi jaksa pengacara negara dalam memberikan bantuan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juncto Pasal 18 ayat (1) dan (2) UU No 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Hal ini dinilai para Pemohon memberikan ruang penafsiran yang luas bagi Presiden dan Jaksa Agung untuk kemudian mengaturnya dalam Peraturan Presiden dan Peraturan Kejaksaan. Dengan tiada batasan mengenai perkara mana yang boleh diselesaikan di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan oleh Jaksa Pengacara Negara dapat menimbulkan dualisme fungsi dari kejaksaan itu sendiri, baik fungsi sebagai penuntut umum dalam perkara pidana maupun fungsi sebagai jaksa pengacara pengacara negara dalam perkara perdata dan tata usaha negara. Dualisme ini dapat membuka potensi perkara perdata yang dipidanakan dan perkara pidana yang diperdatakan.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyarankan agar permohonan tersebut diperbaiki, khususnya dalam hal penguraian kedudukan hukum dan kerugian konstitusional. “Kedua aspek tersebut sebaiknya digabung dan dijelaskan secara terstruktur,” ujarnya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah turut menambahkan bahwa para Pemohon sebaiknya merujuk pada contoh-contoh permohonan yang pernah dikabulkan Mahkamah Konstitusi sebelumnya, guna memperkuat argumentasi dalam permohonan mereka.
Di akhir persidangan, Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari untuk para Pemohon memperbaiki permohonannya. Adapun perbaikan diterima oleh MK pada Rabu 21 Mei 2025. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina
Source: Laman Mahkamah Konstitusi