Gaji Dosen Swasta Tunduk Pada Peraturan Perundang-undangan Bidang Ketenagakerjaan
JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak seluruh permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Permohonan diajukan dua dosen Perguruan Tinggi Swasta (PTS), yakni Teguh Satya Bhakti dan Fahmi Bachmid. Sidang pengucapan Putusan Nomor 135/PUU-XXI/2023 ini dilaksanakan pada Jumat (29/11/2024) di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.
Terhadap dalil para Pemohon, pertimbagan hukum Mahkamah yang dibacakan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah mengatakan bahwa alokasi anggaran untuk PTS digunakan untuk tunjangan profesi dosen dan tunjangan kehormatan profesor. Bahkan Pemerintah menempatkan dosen yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) pada sejumlah PTS tertentu. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, yang pada pokoknya menyatakan yang berhak untuk menerima gaji dan tunjangan yang bersumber dari APBN hanya untuk dosen yang berstatus sebagai ASN. Hal ini, sambung Guntur, juga ditegaskan dalam Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU 20/2003).
“Pada intinya gaji dosen yang diangkat oleh pemerintah dialokasikan dalam APBN, sedangkan bagi dosen PTS yang diangkat oleh badan penyelenggara PTS yang bersangkutan, maka gaji dan tunjangan ditentukan berdasarkan perjanjian kerja, yang dilakukan oleh dosen bersangkutan dengan badan penyelenggara PTS dan tunduk pada peraturan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan,” ucap Guntur.
Oleh karenanya terkait dengan dalil para Pemohon yang menyatakan frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 70 ayat (3) UU Dikti yang dinilai tidak memiliki kejelasan, Mahkamah melihat bahwa frasa pada norma tersebut digunakan tidak hanya untuk norma Pasal 70 ayat (3) UU Dikti, tetapi juga untuk norma Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) UU Dikti. Dengan kata lain, penggunaan frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan” harus disesuaikan dengan rujukan dari masing-masing norma tersebut. Dalam hal ini, frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dalam norma Pasal 70 ayat (3) UU Dikti merujuk norma dalam peraturan perundang-undangan.
Alokasi Anggaran Bagi PTS
Lebih lanjut Guntur menyebutkan, anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% sebagaimana Pasal 31 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 tersebut sejatinya diprioritaskan bagi pendidikan dasar. Namun dalam praktiknya, pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk pendidikan tinggi, termasuk pendidikan kedinasan yang diselenggarakan pada kementerian/lembaga. Dalam hal ini, bagi PTN alokasi anggaran untuk pendidikan tinggi digunakan untuk biaya operasional, dosen dan tenaga kependidikan, serta investasi dan pengembangan. Sementara bagi PTS, alokasi anggaran digunakan sebagai bantuan tunjangan profesi dosen, tunjangan kehormatan profesor, serta investasi dan pengembangan. Selain itu, bagi mahasiswa dialokasikan sebagai dukungan biaya untuk mengikuti pendidikan tinggi.
Dengan demikian, gaji pokok dan tunjangan yang dibayarkan kepada dosen oleh satuan badan penyelenggara pendidikan PTS sudah termasuk makna yang dimaksudkan dalam frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Oleh karena itu, penggunaan frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 70 ayat (3) UU 12/2012 telah tepat dan sesuai dengan rumusan dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Sehingga norma Pasal 70 ayat (3) UU 12/2012, tidak menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, bukan sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon. Dengan demikian, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” tegas Guntur.
Baca juga:
Mempertanyakan Peran Negara dalam Kesejahteraan Dosen Perguruan Tinggi Swasta
Dugaan Ketimpangan Gaji dan Tunjangan, Dosen PTS Sempurnakan Permohonan
Kemendikbud: Tidak Ada Alokasi Gaji Pokok dan Tunjangan Untuk Dosen PTS
Dosen PTS Akui Terima Gaji Hanya Rp 300 Ribu
Pemerintah Diminta Tetapkan Aturan Batas Minimum Gaji Dosen PTS
Sebagai informasi, Pemohon yang terdiri dari dua dosen PTS, yakni Teguh Satya Bhakti dan Fahmi Bachmid yang menyatakan, pembebanan kewajiban pemberian gaji pokok dosen PTS hanya kepada badan penyelenggara jelas berdampak pada timbulnya ketidaksetaraan/kesenjangan/ketimpangan gaji pokok dosen. Ketidaksetaraan/kesenjangan/ketimpangan itu tidak hanya terjadi antara gaji pokok dosen PTS dan dosen PTN, melainkan juga terjadi antara sesama dosen PTS. PTS yang berada di bawah naungan badan penyelenggara dengan kemampuan sumber daya keuangan yang tinggi dan berkedudukan di daerah dengan ketentuan upah minimum yang tinggi, tentu akan memberikan gaji pokok yang tinggi pula kepada para dosennya.
Untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan, Pemohon meminta agar pemberian gaji pokok serta tunjangan dosen PTS dibebankan pada APBN atau APBD. Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 70 ayat (3) UU Dikti sepanjang frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikut sepanjang tidak dimaknai “Badan penyelenggara sebagaimana dimaksud ayat (2) wajib memberikan gaji pokok serta tunjangan kepada dosen dan tenaga kependidikan yang dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah”.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: N. Rosi.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi