Pengusaha Sawit Perbaiki Kedudukan Hukum Uji UU Cipta Kerja
JAKARTA, HUMAS MKRI – Para Pemohon Perkara Nomor 147/PUU-XXII/2024 memperbaiki permohonan pengujian materi Pasal 110A ayat (1) dan Pasal 110B ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) sebagaimana telah diubah dengan Pasal 37 angka 20 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Kedudukan hukum (legal standing) dari dua badan privat yaitu PT Tara Bintang Nusa (Pemohon I) dan Koperasi Produsen Unit Desa Makmur Jaya Labusel (Pemohon II), serta perseorangan Memet S Siregar (Pemohon III) masing-masing sebagai Pemohon dalam perkara ini telah dilakukan perbaikan.
“Kami uraikan lebih lanjut sehingga memperlihatkan kerugian dari Pemohon III mulai kami lengkapi dari historis perolehan lahan, yang kemudian diterbitkan Sertifikat Hak Milik, kemudian diagunkan di BRI, kemudian sampai menjadi masalah hukum pidana,” ujar kuasa hukum para Pemohon Hotman Sitorus dalam sidang perbaikan permohonan pada Selasa (5/11/2024) di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.
Selain itu, para Pemohon juga telah menambahkan uraian kontestasi pasal-pasal yang diuji dengan sejumlah batu uji dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945. Batu uji dimaksud yang digunakan para Pemohon ialah Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (4), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Hotman menegaskan pihaknya tidak memperbaiki petitum. Dalam petitumnya, para Pemohon meminta Mahkamah agar menyatakan Pasal 110A ayat (1) dan Pasal 110B ayat (1) UU 18/2013 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 37 angka 20 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan dimaksud dikecualikan terhadap pemilik hak atas tanah.
Baca juga:
Pengusaha Sawit Persoalkan Sanksi Bagi Pemilik Tanah di Kawasan Hutan
Sebagai informasi, isu dalam Perkara Nomor 147/PUU-XXII/2024 ini mengenai perlindungan terhadap hak atas tanah. Ketentuan Pasal 110A ayat (1) UU 18/2013 telah menimbulkan implikasi hukum kepada pemilik hak atas tanah untuk menyelesaikan persyaratan dan membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) maupun Dana Reboisasi (DR). Untuk pemilik hak atas tanah yang masuk dalam kawasan hutan lindung dan/atau kawasan konservasi akibat hukumnya tidak hanya berkewajiban membayar PSDH dan DR, melainkan juga berkewajiban menyerahkan tanahnya kepada negara apabila telah melewati 15 tahun dari tahun tanam.
Di samping itu, ketentuan Pasal 110B ayat (1) UU 18/2013 mempunyai akibat hukum yang lebih berat terhadap pemilik hak atas tanah yaitu kewajiban melunasi denda administratif dan status lahan tetap menjadi kawasan hutan. Selain itu, pemilik hak atas tanah yang berada di kawasan hutan produksi mendapatkan persetujuan penggunaan kawasan hutan selama 1 daur maksimal 25 tahun atau sesuai jangka waktu perizinan. Setelah jangka waktu berakhir, maka berkewajiban menyerahkan tanah tersebut kepada negara. Sedangkan, pemilik hak atas tanah yang berada di kawasan hutan lindung dan/atau kawasan hutan konservasi mendapatkan perintah penyerahan tanah kepada negara.
Pemohon I merupakan badan hukum privat yang bergerak di bidang usaha perkebunan kelapa sawit sejak 2003. PT Tara Bintang Usaha mendapatkan hak guna usaha pelepasan kawasan hutan yang terletak di Kelompok Hutan S. Leipan Kabupaten Daerah Tingkat II Langkat, Sumatera Utara untuk usaha budidaya perkebunan kelapa sawit.
Pemohon I mengaku mengalami kerugian akibat pemberlakuan Pasal 110A ayat (1) dan Pasal 110B ayat (1) UU 18/2013 karena areal Pemohon dengan luasan kurang lebih 41,6 hektar dimasukkan dalam Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia tertanggal 31 Oktober 2023 yang mewajibkan Pemohon untuk menyelesaikan pemenuhan persyaratan dengan skema Pasal 110A/Pasal 110B UU Cipta Kerja. Kerugian Pemohon berupa kewajiban pembayaran dengan administratif kehutanan.
Sementara Pemohon II memiliki anggota sebanyak 770 orang yang masing-masing memiliki hak atas tanah dalam bentuk hak milik sejak 1990-an. Pemberlakuan Pasal 110B ayat (1) UU 18/2013 dinilai sangat merugikan anggota-anggota Pemohon II, khususnya bagi anggota yang memiliki perkebunan kelapa sawit lebih dari 5 hektar yang memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) dan dimasukkan dalam status kawasan hutan karena berpotensi dikenakan administratif dan menyerahkan tanah SHM kepada negara.
Sedangkan Pemohon II pernah menjadi terpidana dalam perkara tindak pidana korupsi dengan dakwaan mengagunkan perkebunan kelapa sawit yang sudah memiliki SHM yang diklaim sebagai kawasan hutan di Bank Syariah Mandiri pada 2009. Dengan adanya ketentuan Pasal 110B ayat (1) UU 18/2013, Pemohon III dianggap bertanggung jawab dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang telah ber-SHM di kawasan hutan sehingga dikenakan denda administratif kehutanan yang mencapai Rp 35 miliar. Selain membayar denda, Pemohon III juga kehilangan hak atas tanah untuk diserahkan kepada negara.
Sebagai informasi, berdasarkan riset sederhana yang dihimpun Penulis, pemerintah berupaya menyelesaikan persoalan lahan sawit yang masuk dalam kawasan hutan melalui peraturan yang diuji para Pemohon. Sebagai tindak lanjut peraturan tersebut, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan dua surat keputusan yang berisikan daftar subjek hukum yang melakukan kegiatan usaha di dalam kawasan hutan, tetapi tidak memiliki perizinan di bidang perhutanan, di antaranya adalah para Pemohon.
Sanksi bagi para pelanggar Kawasan Hutan ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Denda Administrasi di Bidang Kehutanan. Disebutkan dalam penjelasan PP ini, Pasal 110A pada prinsipnya mengatur bahwa kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun, memiliki lzin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang sesuai Rencana Tata Ruang tetapi belum mempunyai perizinan di bidang kehutanan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, tidak dikenai sanksi pidana tetapi diberikan kesempatan untuk menyelesaikan pengurusan perizinan di bidang kehutanan dengan membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR).
Kemudian Pasal 110B pada prinsipnya mengatur bahwa kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan kegiatan lain di dalam Kawasan Hutan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan belum mempunyai perizinan di bidang kehutanan, tidak dikenai sanksi pidana tetapi dikenai Sanksi Administratif berupa Penghentian Sementara Kegiatan Usaha, perintah pembayaran Denda Administratif, dan/atau paksaan pemerintah untuk selanjutnya diberikan persetujuan sebagai alas hak untuk melanjutkan kegiatan usahanya di dalam Kawasan Hutan Produksi.
Sebelum menutup persidangan, Majelis Hakim Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah didampingi Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh mengesahkan alat bukti yang diajukan para Pemohon. Guntur mengatakan Majelis Hakim Panel ini akan melaporkan persidangan ini ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk diputus lanjut ke sidang pemeriksaan lanjutan dengan sidang pleno atau tidak ataupun diputus tanpa pemeriksaan lanjutan bergantung hasil RPH tersebut yang dihadiri sembilan hakim konstitusi atau sedikitnya tujuh hakim konstitusi.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: N. Rosi.
Humas: Fauzan F.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi