Bersengketa Internasional, Perusahaan Ekspor Batu Bara Indonesia Ajukan Uji UU Arbitrase
JAKARTA, HUMAS MKRI – PT Tanjung Bersinar Cemerlang, perusahaan yang diberikan izin ekspor batu bara, mengajukan permohonan pengujian Pasal 67 serta Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Direktur Utama PT Tanjung Bersinar Cemerlang Eric Kurniadi mengaku perusahaannya mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya norma pasal a quo mengenai sengketa arbitrase internasional.
“Bahwa saat ini Pemohon sedang terlibat sengketa dengan sebuah perusahaan dari luar negeri yang sedang diselesaikan melalui arbitrase di Singapore International Arbitration Centre (SIAC),” ujar kuasa hukum Pemohon, Aji Setiadi dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Senin (30/09/2024) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat.
Dia menjelaskan, perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan batu bara ini banyak membuat kontrak pembelian maupun penjualan dengan perusahaan-perusahaan dalam negeri serta luar negeri. Dalam kontrak pembelian dan penjualan batu bara pada umumnya dipilih arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa.
Arbitrase dalam negeri seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), sementara arbitrase luar negeri seperti SIAC atau International Chamber of Commerce (ICC) tergantung dari hasil negosiasi para pihak dalam kontrak dimaksud. Dalam hal pembeli batu bara adalah pihak dari luar negeri, maka hampir dapat dipastikan akan dipilih lembaga arbitrase di luar negeri seperti SIAC atau ICC.
Dalam sengketa arbitrase di SIAC, Pemohon dapat menang atau kalah. Apabila Pemohon menang, maka Pemohon akan dapat mengajukan pengakuan dan pelaksanaan serta eksekusi atas putusan arbitrase SIAC tersebut di negara tempat kedudukan lawan atau dimana pun perusahaan lawan dari Pemohon memiliki harta kekayaan. Hal ini dimungkinkan karena putusan arbitrase yang dijatuhkan di suatu negara pada prinsipnya dapat diakui dan dilaksanakan di seluruh negara lain yang telah meratifikasi atau mengaksesi Konvensi New York 1958 yang saat ini berjumlah sekitar 172 negara termasuk Indonesia.
Demikian pula apabila Pemohon kalah dalam sengketa di SIAC tersebut, maka putusan arbitrase SIAC dimaksud yang merupakan Putusan Arbitrase Internasional bagi Indonesia akan dapat dimohonkan pengakuan dan pelaksanaan serta dieksekusi di Indonesia terhadap Pemohon. Di Indonesia, pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional diatur dalam Pasal 65 sampai Pasal 69 UU 30/1999. Berdasarkan Pasal 65 UU 30/1999 yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Berdasarkan ketentuan Pasal 66 huruf d UU 30/1999, Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Untuk memperoleh eksekuatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf d UU 30/1999 tersebut, Putusan Arbitrase Internasional tersebut harus diserahkan dan didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan setelah itu pihak yang menang baru dapat mengajukan permohonan eksekuatur kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam praktik yang selama ini terjadi, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak memperlakukan "permohonan" eksekuatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 UU 30/1999 sebagai "permohonan yang bersifat kontentiosa", meskipun menurut Pasal 68 ayat (1) dan (20 UU 30/1999 produk atau hasil dari permohonan dimaksud adalah berupa "putusan" baik yang berupa putusan yang memberikan eksekuatur atau putusan yang menolak permohonan eksekuatur, sehingga akibatnya termohon eksekuatur tidak dipanggil untuk didengar keterangannya dalam persidangan yang terbuka untuk umum dan putusannya pun tidak diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Bahkan sebelum berlakunya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2023, produk dari “permohonan” ex Pasal 67 UU 30/1999 adalah berupa “penetapan” bukan “putusan”.
Menurut Pemohon, pelaksanaan dari Pasal 67 dan Pasal 68 ayat (1) dan (2) UU 30/1999 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan/atau Mahkamah Agung (MA) menurut Pemohon bertentangan dengan substansi dan norma yang terkandung di dalam redaksi pasal tersebut, dalam konteks hukum arbitrase dan hukum acara perdata secara keseluruhan, sehingga menurut Pemohon penafsiran terhadap frasa "permohonan" dalam Pasal 67 UU No 30/1999 dan frasa "putusan" dalam Pasal 68 ayat (1) dan (2) UU No 30/1999 oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan/atau MA Republik Indonesia yang secara potensial akan merugikan hak-hak konstitusional Pemohon perlu diberikan penafsiran oleh MK, yaitu apabila penafsiran frasa tersebut tidak sesuai dengan penafsiran yang berikan oleh MK, maka hal tersebut akan bertentangan dengan UUD 1945 atau bersifat inkonstitusional.
Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 68 ayat (1) UU No 30/1999 apabila permohonan eksekuatur dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka termohon eksekuatur tidak dapat mengajukan banding atau kasasi, namun sebaliknya berdasarkan ketentuan Pasal 68 ayat (2) UU No 30/1999 apabila permohonan eksekuatur ditolak maka pemohon eksekuatur dapat mengajukan kasasi. Pemohon berpendapat, ketentuan Pasal 68 ayat (1) UU 30/1999 mengandung diskriminasi antara pemohon eksekuatur (yang pada umumnya pihak asing) dengan termohon eksekuatur (yang pada umumnya pihak Indonesia) karena adanya frasa "tidak dapat diajukan banding atau kasasi".
“Adanya frasa tersebut secara potensial akan melanggar hak Pemohon jika Pasal 68 ayat (1) UU No 30/1999 tidak diberian tafsir yang konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi yaitu frasa tersebut harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 kecuali dimaknai sebagai ‘dapat diajukan kasasi’,” kata Aji.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan frasa “permohonan” dalam Pasal 67 UU 30/1999 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “permohonan” dalam pasal tersebut tidak dimaknai sebagai “permohonan yang bersifat kontentiosa”. Kemudian, Pemohon meminta Mahkamah agar menyatakan frasa "putusan" dalam Pasal 68 ayat (1) dan (2) UU 30/1999 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa putusan dalam pasal tersebut tidak dimaknai sebagai "putusan yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum". Berikutnya, Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan frasa "tidak dapat diajukan banding atau kasasi" dalam Pasal 68 ayat (1) UU 30/1999 bertentangan dengan UUDr 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa tersebut tidak dimaknai sebagai "dapat diajukan kasasi".
Nasihat Hakim
Perkara 131/PUU-XXII/2024 ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Para hakim konstitusi menyoroti sistematika penulisan permohonan yang masih perlu diperbaiki dengan memedomani Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021.
Selain itu, Enny mengatakan, Pemohon dapat menguraikan dengan singkat kasus konkret yang dialami Pemohon sebagai pembuka untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang ini. Namun, Pemohon harus menyampaikan dengan jelas kerugian konstitusional yang dialami karena pemberlakuan norma pasal yang diuji disertai dengan sebab-akibat antara kerugian tersebut dengan berlakunya norma pasal a quo.
“Setelah itu baru para Bapak kuasa hukum menyimpulkan bahwa Pemohon memiliki legal standing, ini satu persatunya bisa diuraikan demikian atau bisa dibikin naratif, tapi uraiannya harus ada. Ini kan lebih banyak menceritakan kasus konkret yang dialami, tetapi dengan syarat kerugian hak konstitusionalnya itu yang belum terlalu kuat uraiannya,” jelas Enny.(*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha
Source: Laman Mahkamah Konstitusi