MK Tolak Permohonan Uji Pengangkatan Profesor Kehormatan dalam UU Dikti

JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan Pengujian Pasal 72 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti), pada Kamis (26/9/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan Perkara Nomor 109/PUU-XXII/2024 ini diajukan seorang dosen sekaligus advokat bernama Rega Felix yang mempersoalkan pengangkatan profesor kehormatan.

Pasal 72 ayat (5) UU Dikti menyatakan, “Menteri dapat mengangkat seseorang dengan kompetensi luar biasa pada jenjang jabatan akademik profesor atas usul Perguruan Tinggi.”

Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Mahkamah telah secara jelas dan tegas menjawab bahwa mengenai pengangkatan profesor kehormatan merupakan domain menteri in casu menteri yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan tinggi [vide Pasal 7 ayat (1) UU Dikti] melalui pembentukan peraturan menteri [vide Pasal 72 ayat (6) UU Dikti]. Artinya, Pasal 72 ayat (5) UU Dikti yang mengakui keberadaan profesor kehormatan tidaklah berdiri sendiri, namun berkaitan dengan ketentuan selanjutnya yakni Pasal 72 ayat (6) UU Dikti yang mendelegasikan pengaturan salah satunya mengenai profesor kehormatan yang bersifat teknis operasional dalam bentuk peraturan menteri, sehingga terdapat standarisasi dan prosedur penilaian kompetensi luar biasa yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk menjadi profesor kehormatan.

Guntur mengatakan, ihwal pendelegasian kewenangan kepada menteri in casu Pasal 72 ayat (6) UU Dikti merupakan hal yang diperbolehkan sebagaimana ditentukan dalam Lampiran II angka 211 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) yang menyatakan "Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada menteri, pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif." Atas dasar tersebut, diterbitkan Permendikbud Ristek 44/2024 yang antara lain mencabut dan menyatakan tidak berlaku Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi. Dalam Permendikbud Ristek 44/2024 di antaranya mengatur tata cara pengangkatan, masa jabatan, persyaratan, hak dan kewajiban, serta pemberhentian dan larangan bagi profesor kehormatan.

Oleh karena itu, tanpa tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Permendikbud Ristek 44/2024, Pemendikbud Ristek a quo selain memiliki dasar dalam pembentukannya, juga melindungi kehormatan dan martabat jenjang akademik tertinggi, in casu gelar profesor. Karena, sebagaimana persyaratan dan mekanisme perolehan jabatan profesor akademik sebagai jenjang akademik tertinggi yang lebih ketat dibandingkan dengan jabatan akademik yang lebih rendah dari profesor, persyaratan dan mekanisme pengangkatan jabatan profesor kehormatan juga lebih ketat dibandingkan dengan pengangkatan jabatan doktor kehormatan yang diangkat oleh perguruan tinggi yang memenuhi kriteria, sebab profesor kehormatan diangkat oleh menteri atas usul perguruan tinggi yang memenuhi kriteria.

 

Penulisan Gelar Profesor Kehormatan

Lebih lanjut, Guntur mengatakan, terkait dengan penulisan gelar profesor kehormatan, jika akan dicantumkan atau digunakan, Mahkamah dalam pertimbangan putusan telah memberikan perintah (judicial order) harus ditulis Prof. (H.C.) diikuti nama institusi perguruan tinggi pemberi gelar dimaksud. Pertimbangan tersebut telah diakomodir dalam Permendikbud Ristek 44/2024. Dalam hal ini, Pasal 43 ayat (2) huruf a Permendikbud Ristek 44/2024 menyatakan, "Pencantuman jabatan akademik Profesor Kehormatan dengan mencantumkan jabatan Profesor Kehormatan secara lengkap atau disingkat Prof. (hon.), disertai dengan nama Perguruan Tinggi. Dengan demikian, meskipun terdapat perbedaan cara pencantuman/penulisan gelar dimaksud dengan cara pencantuman/penulisan profesor akademik, perbedaan tersebut tidak dapat dikatakan bersifat diskriminatif karena telah memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang memang berbeda.

“Tanpa bermaksud menilai legalitas Permendikbud Ristek 44/2024, menurut Mahkamah keberadaannya merupakan instrumen yuridis sebagai pengaturan lebih lanjut dari Pasal 72 ayat (6) UU 12/2012 yang berkaitan dengan Pasal 72 ayat (5) UU 12/2012 yang dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh Pemohon. Dalam hal ini, keberadaan Permendikbud Ristek 44/2024 sepanjang berkenanan dengan pengaturan profesor kehormatan bersifat teknis administratif untuk memastikan standarisasi dan prosedur pengangkatan profesor kehormatan agar dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Guntur.

 

Syarat Kompetensi

Berkenaan dengan hal tersebut di atas, menurut Guntur, Mahkamah perlu menegaskan, meskipun telah terdapat Permendikbud Ristek 44/2024 yang di dalamnya terdapat pengaturan profesor kehormatan, namun hakikatnya tidak boleh mengurangi hakikat dan substansi undang-undang yang mendasari pembentukan peraturan menteri dimaksud, yakni hanya seseorang dengan kompetensi luar biasa yang dapat diangkat oleh menteri menjadi profesor kehormatan atas usul perguruan tinggi [vide Pasal 72 ayat (5) UU 12/2012]. Dalam batas penalaran yang wajar, persyaratan kompetensi luar biasa dimaksudkan agar gelar profesor kehormatan diberikan dengan ketat dan sangat selektif.

Berkenaan dengan petitum Pemohon yang memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 72 ayat (5) UU Dikti bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "Menteri dapat mengangkat seseorang dengan kompetensi luar biasa yang dibuktikan dengan karya ilmiah atau karya monumental lainnya yang sangat istimewa di bidangnya dan mendapat pengakuan internasional pada jenjang jabatan akademik profesor atas usul Perguruan Tinggi", menurut Mahkamah tidak sesuai dengan hakikat pemberian profesor kehormatan karena pemberian gelar dimaksud berdasarkan penilaian kompetensi luar biasa.

Oleh karena itu, apa yang dimohonkan oleh Pemohon dalam permohonan a quo pada dasarnya bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma namun lebih merupakan aspirasi untuk memperketat syarat pengangkatan seseorang ke dalam jabatan profesor kehormatan. Namun, yang dimohonkan Pemohon sebagai tafsir atas ketentuan Pasal 72 ayat (5) UU DIkti justru dapat mempersempit makna norma dimaksud sebab pembuktian kompetensi seseorang dapat dilakukan baik berdasarkan karya akademik maupun dengan prestasi berdasarkan pengalaman yang relevan dengan kompetensi luar biasa yang dapat diraih oleh mereka yang telah berkiprah secara langsung dalam kehidupan profesional di masyarakat. Selain itu, meletakkan pengakuan hanya pada penilaian masyarakat internasional semata, justru menafikan penilaian dan pengakuan secara nasional oleh bangsa sendiri yang juga tidak kalah penting. Karenanya, di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat perlu mendekatkan jarak antara dunia akademik murni dan dunia profesional yang diperankan para praktisi untuk memaksimalkan pemenuhan hak untuk memeroleh manfaat atas pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dijamin konstitusi [vide Pasal 28C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945].

Terlebih, rumusan petitum Pemohon sama dengan persyaratan bagi profesor yang dapat diangkat menjadi profesor paripurna. Pasal 49 UU 14/2005 menyatakan, "Profesor yang memiliki karya ilmiah atau karya monumental lainnya yang sangat istimewa dalam bidangnya dan mendapat pengakuan internasional dapat diangkat menjadi profesor paripurna." Sehingga, apabila petitum Pemohon dikabulkan justru tidak terdapat perbedaan antara profesor kehormatan dengan profesor paripurna yang berasal dari profesor akademik. Bukan hanya itu, petitum yang demikian apabila dikabulkan justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena menjadi sulit membedakan syarat menjadi profesor kehormatan dengan profesor paripurna. Walakin, dalam pelaksanaannya, sebagai jabatan akademik yang mempersyaratkan kompetensi luar biasa maka keterpenuhan syarat tersebut harus menjadi perhatian utama dalam menyeleksi seseorang untuk diangkat dalam jabatan profesor kehormatan. Syarat tersebut seharusnya diterapkan secara ketat sesuai dengan ketentuan Pasal 72 ayat (5) UU Dikti. Penerapan syarat yang ketat demikian dilakukan oleh perguruan tinggi sebab pengusulan jabatan profesor kehormatan diajukan oleh perguruan tinggi kepada menteri setelah melalui proses seleksi yang ketat dan sangat selektif. Dalam hal ini, sekalipun seseorang diusulkan oleh perguruan tinggi menjadi profesor kehormatan, namun apabila menteri menilai seseorang yang diusulkan tersebut tidak memenuhi syarat memiliki kompetensi luar biasa, menteri dapat menolak usulan tersebut.


Baca juga:

MK Kembali Periksa Uji Gelar Profesor Kehormatan dalam UU Dikti

Gelar Profesor Kehormatan dalam UU Dikti Dipertanyakan


Sebelumnya, MK menggelar sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 109/PUU-XXII/2024 perihal Permohonan Pengujian Pasal 72 ayat (5) UU Dikti, pada Senin (26/8/2024). Permohonan perkara ini diajukan oleh seorang dosen sekaligus advokat bernama Rega Felix.

Menurut Pemohon, frasa “kompetensi luar biasa” perlu ditafsirkan secara konstitusional oleh MK. Pemohon juga menegaskan bahwa ia tidak menyangkal adanya pihak non-akademik dengan “kompetensi luar biasa” seperti yang diatur dalam pasal tersebut. Namun, Pemohon berpendapat bahwa hal ini perlu dibuktikan secara akademis dan dapat diuji melalui karya nyata, bukan hanya berdasarkan “ketokohan” atau “jabatan”.

“Makna "kompetensi luar biasa" harus diberikan batasan minimum melalui tafsir konstitusional. Jangan sampai perguruan tinggi secara asal-asalan mengusulkan gelar profesor dan menteri mengangkat secara asal-asalan,” jelasnya.

Untuk itu, pada petitum, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 72 ayat (5) UU Dikti inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai “Menteri dapat mengangkat seseorang dengan kompetensi luar biasa yang dibuktikan dengan karya ilmiah atau karya monumental lainnya yang sangat istimewa di bidangnya dan mendapat pengakuan internasional pada jenjang jabatan akademik profesor atas usul Perguruan Tinggi.”

 

Penulis: Utami Argawati.

Editor: N. Rosi.

Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi