Pemohon Persoalkan Diskriminasi Rekrutmen Tenaga Kerja

JAKARTA, HUMAS MKRI – Leonardo Olefins Hamonangan kembali mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Selain itu, ia juga memohonkan pengujian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dia bersama dua orang lainnya yaitu Max Andrew Ohandi dan Martin Maurer dalam Perkara Nomor 124/PUU-XXII/2024 menyoal ketentuan yang membatasi pelamar kerja seperti syarat batas usia, jenis kelamin, agama, dan lainnya yang dianggap diskriminasi.

Ketiga Pemohon tersebut menguji frasa “dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan” dalam Pasal 35 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Para Pemohon juga mempersoalkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 199 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

“Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjadi bukti frasa tersebut sebagai persoalan konstitusi dikarenakan pasal tersebut expressis verbis masuk dalam kategori norma yang tidak jelas/bias (unclear norm) sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum serta perlu ada penegasan berkaitan dengan diskriminasi apa saja yang tidak ditolerir dalam lowongan atau penerimaan pekerjaan,” ujar kuasa hukum para Pemohon, Syamsul Jahidin dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Selasa (24/9/2024) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat.

Menurut para Pemohon, ketentuan dimaksud dapat menimbulkan penyalahgunaan wewenang atau perekrutan tenaga kerja yang tidak memenuhi standar yang diperlukan. Dalam beberapa kasus, hal ini bisa menyebabkan pelanggaran hak-hak pekerja atau ketidakseimbangan dalam hubungan kerja. Ketentuan tersebut juga dapat membuka peluang untuk diskriminasi dalam proses perekrutan.

Tidak ada jaminan bahwa tenaga kerja yang direkrut akan dipilih berdasarkan kualifikasi atau meritokrasi. Permasalahan yang ditimbulkan justru adanya dampak sosial yang makin meluas karena sering dijumpai persyaratan lowongan pekerjaan yang tidak masuk akal mengakibatkan banyaknya pencari kerja yang kesulitan mendapatkan pekerjaan.

Para Pemohon mengatakan, UU Ketenagakerjaan tidak mengatur tentang prinsip kesetaraan dalam proses rekrutmen, yang bisa menyebabkan diskriminasi terhadap kelompok tertentu berdasarkan faktor-faktor seperti umur, jenis kelamin, atau asal daerah. Ketidakadilan dalam proses rekrutmen dapat merusak kepercayaan publik terhadap perusahaan dan bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi yang diakui secara luas dalam hukum Ketenagakerjaan.

Sementara, Pasal 5 UU Ketenagakerjaan menyatakan setiap tenaga kerja memilik kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Ketentuan ini belum konkret melindungi pencari kerja terhadap diskriminasi lowongan pekerjaan karena pasal tersebut berisi imbauan dan tidak ada bentuk penegasan yang tegas atas larangan dalam bentuk diskriminasi.

Di samping itu, para Pemohon berpendapat, Pasal 1 angka 3 UU HAM menyebut pembatasan usia tidak dikategorikan sebagai ranah diskriminasi, padahal beberapa negara sudah memasukkan ageism sudah dilarang dan dikategorikan sebagai bentuk diskriminasi. Selain itu pasal di atas tidak memandang persyaratan lowongan pekerjaan seperti berpenampilan menarik sebagai bentuk diskriminasi. Menurut para Pemohon, maksud ini dikatakan tepat sesuai perumusan definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diskriminatif adalah bersifat diskriminasi atau membeda-bedakan.

 

Petitum

Para Pemohon dalam petitum meminta Mahkamah menyatakan Pasal 35 ayat (1) UU Ketenagakerjaan bertentangan secara bersyarat dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja dilarang mengumumkan lowongan pekerjaan yang mensyaratkan usia, berpenampilan menarik, ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, kebangsaan atau asal usul keturunan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.”

Para Pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 3 UU HAM bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar usia, agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.”

 

Nasihat Hakim

Perkara ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah. Ketiga hakim kompak menyoroti kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam permohonan ini.

Enny mengatakan, para Pemohon telah memiliki pekerjaan. Sedangkan, para Pemohon mempersoalkan syarat lowongan pekerjaan. Sehingga, kerugian konstitusional para Pemohon pun dipertanyakan termasuk argumentasi sebab akibat berlakunya norma pasal a quo dengan batu uji yang diajukan para Pemohon.

“Sudah kerja, karyawan swasta, wiraswasta, apa persoalannya, sudah kerja masih mempersoalkan, apalagi ada diskriminasi, itu tolong Anda bisa bangun argumentasinya,” kata Enny.

Selain itu, Enny juga mempertanyakan argumentasi para Pemohon terhadap pendapat Mahkamah dalam putusan sebelumnya yang menyatakan persoalan a quo bukanlah diskriminasi. Dia mengatakan, International Covenant on Civil and Political Rights tidak menyebut usia sebagai salah satu bentuk diskriminasi. Mahkamah dalam putusannya menegaskan bahwa benar dalam pengertian diskriminasi terdapat unsur perbedaan perlakuan tetapi tidak setiap perbedaan perlakuan serta merta merupakan diskriminasi. Menurut Enny, para Pemohon dapat membangun argumentasi yang dapat menggeser pendirian Mahkamah atas putusan sebelumnya.

Sebelumnya, Leonardo Olefins Hamonangan pernah mengajukan UU Ketenagakerjaan dalam Perkara Nomor 35/PUU-XXII/2024 yang juga menyoal batas usia pelamar kerja yang dianggap salah satu bentuk diskriminasi. Mahkamah telah menjatuhkan Putusan Nomor 35/PUU-XXII/2024 tersebut dengan menyatakan menolak permohonan untuk seluruhnya. Di sisi lain, terdapat pendapat berbeda atau dissenting opinion dari Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah.

 

Penulis: Mimi Kartika.

Editor: N. Rosi.

Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi