Caleg Uji Konstitusionalitas Aturan Jumlah Empat Orang Anggota DPD Setiap Provinsi

JAKARTA, HUMAS MKRI –  Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan uji materiil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Kamis (4/7/2024) di Ruang Sidang Panel MK. Perkara Nomor 48/PUU-XXII/2024 ini dimohonkan oleh Ahmad Kanedi dan tujuh Pemohon perseorangan lainnya. Enam dari delapan Pemohon merupakan Anggota DPD RI periode 2019-2024.

Adapun para Pemohon mempersoalkan Pasal 252 ayat (1) UU 17/2014 yang berbunyi “Anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak 4 (empat) orang” dan Pasal 196 UU 7/2017 yang berbunyi “Jumlah kursi anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan 4 (empat)”. Makhfud selaku kuasa hukum Pemohon membandingkan antara jumlah kursi anggota DPR maupun pengaturannya dalam daerah pemilihan sebagaimana Pasal 186 dan Pasal 187 ayat (2) UU 7/2017 dan jumlah anggota maupun jumlah kursi DPD tiap provinsi sebagaimana diatur dalam Pasal 252 ayat (1) UU 17/2014 dan Pasal 196 UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian, maka kedua pasal yang dimohonkan pengujian tersebut melanggar proporsionalitas dan keadilan bagi Para Pemohon.

“Karena Para Pemohon yang memperoleh suara peringkat kelima di daerah pemilihannya dipastikan tidak akan terpilih menjadi anggota DPD dari provinsi-provinsi sebagaimana tersebut di atas pada Pemiliu 2024. Bahwa letak ketidakproporsionalitasan tersebut adalah karena jumlah anggota DPR RI yang sebanyak 575 tidak proporsional dengan jumlah kursi DPD setiap provinsi yang hanya 152, sementara menurut Pasal 22C ayat (2) UUD 1945 menghendaki tidak lebih dari sepertiga dan tidak lebih dari sepertiga itu tidak bermakna masih jauh di bawah sepertiga. Dengan perkataan lain, jika masih jauh di bawah sepertiga yang berarti tidak proporsional maka hal demikian harus dipandang inskonstitusional,” terangnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, ketidakadilan terletak dalam penentuan jumlah kursi DPR pembentuk undang-undang menentukan jumlah yaitu paling sedikit sedikit 3 kursi dan paling banyak 10 kursi. “Artinya, sama-sama lembaga negara perwakilan tetapi pengaturan anggota lembaga perwakilan tersebut terdapat pembedaan perlakuan dalam penormaan pengisian keanggotaan,” ujar Makhfud.

Makhfud menjelaskan Para Pemohon yang memperoleh suara peringkat kelima di daerah pemilihannya dipastikan tidak terpilih menjadi anggota DPD dari masing provinsi-provinsi tersebut akibat berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan pengujian. Untuk itu, pasal-pasal tersebut dinilai Pemohon melanggar hak konstitusionalnya untuk diperlakukan secara adil dan berkepastian hukum dan menghalangi hak konstitusional Para Pemohon untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan karenanya bertentangan dengan Pasal 22C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945.

Sementara dalam permohonan, dijelaskan bahwa seluruh Pemohon merupakan calon anggota DPD periode 2024-2029 yang menempati peringkat kelima dalam perolehan suara calon anggota DPD berbagai daerah pemilihan, yaitu Provinsi Bengkulu, Provinsi Gorontalo, Provinsi Aceh, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Riau. Dengan peringkat kelima, para Pemohon tidak dapat ditetapkan menjadi anggota DPD terpilih di masing-masing daerah pemilihan mereka oleh karena keberlakuan norma pasal-pasal yang diuji. Selain itu, para Pemohon melihat adanya ketidaksetaraan dalam kewenangan dan jumlah anggota antara DPD RI dan DPR RI yang salah satunya disebabkan oleh keberadaan pasalpasal tersebut.

Untuk itu, Para Pemohon memohon kepada MK agar Pasal 252 ayat (1) UU 17/2014 dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak 5 (lima) orang”. Demikian juga terhadap Pasal 196 UU 7/2017, MK diminta para Pemohon untuk menyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Jumlah kursi anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan 5 (lima).”

Mempertajam Dalil

Menanggapi permohonan Para Pemohon, Panel Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah memberikan saran perbaikan. Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah meminta para Pemohon memperbaiki dalil permohonan terkait pasal yang diuji menimbulkan diskriminasi. Ia menyampaikan agar para Pemohon bisa membedakan dirugikan karena tidak terpilih sebagai Anggota DPD karena berada di posisi kelima dengan dirugikan karena pasal yang diuji memang menimbulkan ketidakadilan.

Ia menambahkan para Pemohon membandingkan dengan jumlah Anggota DPR dalam dalil permohonannya. Hal ini menurut Guntur, sudah memasuki ranah legislative review. “(Yang dimohonkan Pemohon) jadi (Kewenangan) pembentuk undang-undang, jadinya legislative review, bukan judicial review. Dia akan menjadi judicial review jika menimbulkan ketidakadilan yang intorable,” ucap Guntur.

Sedangkan Wakil Ketua MK Saldi Isra meminta agar para Pemohon mempertajam alasan permohonannya. Ia menyarankan agar alasan mengapa dasar pemikiran jumlah Anggota DPD harus diubah menjadi lima orang lebih diuraikan.

“Oleh karena itu, sebaiknya dijelaskan dulu, rumusan Pasal 22C Ayat (2) yang menyebut maksimal Anggota DPD bukan sepertiga, lalu dikontestasi dengan jumlah Anggota DPD dan Anggota DPR sekarang. Karena jumlah sekarang (yakni empat orang) konstitusional karena tidak lebih dari sepertiga. Dan yang diminta oleh Pemohon menjadi lima itu harus dijelaskan konstitusional atau tidak. Itu dijelaskan dulu,” saran Saldi.

Sebelum menutup sidang, Saldi menyampaikan para Pemohon dapat memperbaiki permohonan dalam jangka waktu 14 hari. Perbaikan permohonan selambatnya diterima Kepaniteraan MK pada 17 Juli 2024 pukul 09.00 WIB. (*)

Penulis: Utami Argawati/L.A.P
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi