Sebagai Pejabat Negara, Jaksa Agung Harus Tanggalkan Status PNS

JAKARTA, HUMAS MKRI – Kewenangan Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum tertinggi sebagaimana termuat dalam norma Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) merupakan kewenangan yang dimiliki oleh Jaksa Agung secara ex-officio berdasarkan jabatannya sebagai pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Kejaksaan yang akan menjadi pengendali pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan Kejaksaan dalam bidang penuntutan. Oleh karena kedudukan tersebut, jabatan Jaksa Agung ditetapkan statusnya sebagai Pejabat Negara, bukan pegawai negeri sipil sebagaimana Pemohon mengaitkan dalilnya dengan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Kejaksaan.

Demikian salah satu poin pertimbangan hukum Putusan Nomor 30/PUU-XXI/2023 yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Putusan atas permohonan yang diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar yang berprofesi sebagai Analis Penuntutan/Calon Jaksa pada Kejaksaan Negeri Tojo Una-Una, Wakai, dibacakan pada Selasa (15/8/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.

Enny menambahkan sekalipun Jaksa Agung tersebut awalnya adalah jaksa karier yang berstatus pegawai negeri sipil (jabatan fungsional), namun apabila yang bersangkutan diangkat oleh Presiden sebagai Jaksa Agung, maka statusnya sebagai pegawai negeri sipil justru harus diberhentikan sementara sepanjang yang bersangkutan belum memasuki batas usia pensiun. Sementara itu, sambungnya, berkaitan dengan Jaksa Agung yang tidak berstatus sebagai PNS atau bukan dari internal Kejaksaan, kewenangan penuntutan tetap melekat kepada jabatan Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi. Oleh karenanya, tidak terdapat persoalan ketidaksesuaian norma dalam Pasal 1 angka 3 UU Kejaksaan jika dikaitkan dengan norma Pasal 1 angka 2 dan Pasal 18 ayat (1) UU Kejaksaan.

“Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan norma Pasal 1 angka 3 UU 11/2021 adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak diartikan Penuntut Umum adalah Jaksa Agung dan/atau Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang adalah tidak beralasan menurut hukum,” papar Enny di Ruang Sidang Pleno MK.

Syarat Jaksa Agung

Berikutnya Enny pun membacakan dalil Pemohon mengenai penambahan syarat tidak pernah dan tidak sedang terdaftar sebagai anggota dan/atau pengurus partai politik karena khawatir Jaksa Agung yang diangkat tidak profesional karena tidak memenuhi syarat lulus PPPJ, bukan sebagai Jaksa aktif atau Pensiunan Jaksa berpangkat jabatan terakhir paling rendah Jaksa Utama (IV/e), Mahkamah menilai hal demikian tidak beralasan hukum.

Sebab, pada prinsipnya Pemohon perlu membedakan persyaratan bagi seseorang yang akan diangkat menjadi Jaksa dari kalangan pegawai negeri sipil (PNS) dengan jabatan fungsional, sehingga perlu menempuh berbagai jenjang pendidikan termasuk harus lulus pendidikan calon Jaksa. Mahkamah menilai bagi Jaksa karier yang kemudian diangkat oleh Presiden menjadi Jaksa Agung akan dengan sendirinya yang bersangkutan telah melaksanakan seluruh persyaratan jenjang pendidikan dimaksud. Namun apabila Presiden mengangkat Jaksa Agung di luar karier, bukan berarti orang tersebut tidak profesional. Jika pun hal tersebut terjadi, justru akan merugikan kinerja Kejaksaan Agung sekaligus kinerja Presiden. Sebab, Jaksa Agung yang diangkat merupakan pejabat negara yang memiliki tanggung jawab tertinggi atas Kejaksaan yang dipimpinnya, termasuk mengendalikan tugas, wewenang Kejaksaan, dan tugas lain yang diberikan oleh negara.

Sehingga syarat-syarat yang menurut Pemohon ‘dibebankan’ hanya kepada Jaksa, sesungguhnya juga merupakan bagian dari tanggung jawab Jaksa Agung, baik yang berasal dari internal maupun di luar Kejaksaan harus membentuk Jaksa yang profesional dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Selain itu, berkaitan dengan syarat kepangkatan yang didalilkan Pemohon tersebut, telah menjadi bagian dari pertimbangan Mahkamah mengenai Jaksa Agung adalah pejabat negara, sehingga terhadap pengangkatannya tidak berlaku ketentuan golongan pangkat.

Hak Prerogatif

Mahkamah juga mempertimbangkan mengenai pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung. Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyebut kewenangan mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung menjadi bagian dari hak konstitusional Presiden, yakni hak prerogatif yang tetap dibatasi oleh mekanisme check and balances dalam rangka untuk membatasi besarnya dominasi dan peran seorang Presiden. Salah satu wujud mekanisme tersebut tampak pada fungsi pengawasan DPR terhadap pemerintah termasuk dalam hal pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan pemerintah. Dan dalam hal ini, sambung Wahiduddin, Kejaksaan menjadi bagian dari suatu badan pemerintahan yang pimpinannya bertanggung jawab langsung kepada Presiden dalam pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangannya.

“Oleh karenanya, Presiden dalam mengangkat Jaksa Agung tidak akan secara asal menentukan orang, bahkan sebelum mengangkat Jaksa Agung, Presiden telah mempertimbangkan tidak hanya dari aspek penegakan hukum melainkan juga menilai secara komprehensif dari segala aspek agar Jaksa Agung yang akan diangkat benar-benar dapat menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya sebagai pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Kejaksaan,” sebut Wahiduddin.

Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang ada, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 1 angka 3 dan Pasal 20 UU 11/2021 serta Pasal 19 ayat (2) dan Pasal 21 UU 16/2004 tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan serta tidak melanggar kemerdekaan kekuasaan kehakiman sebagaimana dijamin Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. “Mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman saat membacakan Amar Putusan di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.

Pendapat Berbeda

Atas putusan tersebut, tiga hakim mengajukan pendapat berbeda, yakni seharusnya Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan Pemohon. Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam pertimbangannya setuju dengan permohonan Pemohon terkait syarat tambahan berupa larangan bagi Jaksa Agung merangkap menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Upaya memohon adanya syarat tambahan dimaksud, tidak dapat dilepaskan dari kemungkinan potensi konflik (conflic of interest) dalam rangkap jabatan. Dan, apabila dikaitkan dengan posisi Jaksa Agung sebagai salah satu figur atau jabatan sentral dalam penegakan hukum, kemungkinan adanya potensi konflik tersebut harus dapat dicegah sejak awal.  Dalam konteks itu, postulat bernegara yang kerap dirujuk, yaitu kesetiaan kepada partai politik berakhir begitu pengabdian kepada negara dimulai (my loyalty to my party ends, where my loyalty to my country begins) harus menjadi bagunan etik dan pijakan hukum untuk posisi Jaksa Agung.

Dalam kutipan pertimbangan hukumnya, Saldi menambahkan bahkan, bagi seorang yang akan diangkat Presiden sebagai Jaksa Agung, yang bersangkutan harus mempunyai jarak waktu yang cukup berhenti sebagai anggota dan/atau pengurus partai politik sebelum diangkat sebagai Jaksa Agung. Untuk memutus loyalitas kepada partai politik, paling tidak, seseorang telah berhenti sebagai anggota dan/atau pengurus partai politik selama 5 (lima) tahun sebelum diangkat sebagai Jaksa Agung.

Pendapat serupa juga diungkapkan dua hakim konstitusi lainnya, yakni Hakim Konstitusi Suhartoyo dan M. Guntur Hamzah. Menurut keduanya, apabila Jaksa Agung merangkap sebagai anggota dan/atau pengurus partai politik, sangat berpotensi untuk tersandera kepentingan-kepentingan politik yang akan menurunkan independensi, imparsialitas, dan integritas jajaran Kejaksaan dalam menjalankan kewenangannya di bidang penegakan hukum.


Baca juga:
Calon Jaksa Minta MK Perbaiki Definisi Penuntut Umum dalam UU Kejaksaan
Calon Jaksa Pertegas Alasan Pengujian UU Kejaksaan
DPR dan Presiden Minta Sidang Uji UU Kejaksaan Ditunda
Pemerintah Menarik Keterangan Tertulis, Sidang Uji UU Kejaksaan Kembali Ditunda
DPR: Jaksa Agung Bertanggung Jawab Kepada Presiden
Kondisi Kesehatan Ahli Tidak Baik, Pemohon Minta Sidang Uji UU Kejaksaan Ditunda
Pemohon Batal Ajukan Ahli, Sidang Uji UU Kejaksaan Berakhir


 

Pada sidang terdahulu, Pemohon meminta agar Mahkamah memberikan tafsir konstitusional untuk memperbaiki definisi Penuntut Umum dalam Pasal 1 angka 3 UU Kejaksaan agar mencakup juga Jaksa Agung selain jaksa yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Sebab, bisa saja seorang Jaksa Agung merupakan pensiunan jaksa yang tidak lagi berstatus PNS. Dengan demikian, norma a quo nantinya diharapkan tidak lagi bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UU Kejaksaan. Berikutnya, Pemohon juga memohonkan agar Mahkamah memberikan tafsir tentang pengangkatan Jaksa Agung yang tidak disertai oleh adanya fit and proper test di DPR RI yang menjadi bagian dari penerapan check and balances. Hal ini dapat berakibat pada gangguan independensi Kejaksaan Agung RI sebagai penegak hukum di Indonesia.

Menurut Pemohon, Pasal 20 UU Kejaksaan membuka ruang kesempatan dengan sangat mudah bagi seseorang yang tidak pernah mengalami berbagai hal dan tahapan proses sebagai jaksa untuk menjadi Jaksa Agung. Padahal, Pemohon sendiri telah bersusah payah merintis karir sebagai seorang Analis Penuntutan selama 1 – 2 tahun dan mengikuti program Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) selama berbulan-bulan agar dapat diangkat sebagai seorang jaksa. Sehingga norma tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 3, Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 21 UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945. (*)

Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana

Source: Laman Mahkamah Konstitusi